Evaluasi 100 hari seringkali digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai kinerja para pemimpin di dunia politik.
Namun, karena terlalu sering dilakukan, evaluasi ini kerap menjadi sekadar ritual yang terjebak dalam dua kubu ekstrem: sanjungan berlebihan dan kritikan pedas.
Keduanya justru menjauhkan kita dari esensi sebenarnya, yaitu menagih janji yang terukur dan objektif.
Hal ini termasuk cara kita menanggapi hasil survei yang seolah-olah terjebak dalam kompetisi popularitas, melupakan esensi politik desentralisasi dan kerja kolektif yang justru menjadi ciri khas Indonesia.
Saya tidak ingin terkesan berbeda atau merasa paling tahu. Oleh karena itu, saya membatasi diri untuk membahas capaian 100 hari Mas Pram-Bang Doel. Hal ini dikarenakan saya berada cukup dekat ketika turut membantu menyiapkan berbagai koordinasi dan strategi untuk mewujudkan janji kampanye saat di Tim Transisi, dan berlanjut hingga kini saat mendampingi keduanya sebagai bagian dari tim kebijakan di Balai Kota.
Sejak awal, saya merasa nyaman membantu karena kedua pemimpin baru Jakarta ini telah menegaskan bahwa mereka sudah selesai dengan urusan pribadi, akan fokus melayani warga Jakarta, dan tidak pernah mengumbar janji-janji yang muluk.
Mereka realistis dalam menghadapi kompleksitas Jakarta, tingginya ekspektasi publik, dan kesadaran bahwa Jakarta adalah barometer ekonomi-politik nasional.
Oleh karena itu, menunjukkan komitmen untuk bekerja keras adalah modal awal yang dianggap memadai.
Keberanian untuk mengambil keputusan yang kurang populer pun ditunjukkan secara tulus. Beliau lebih memilih mengejar pajak dari kalangan mampu daripada memberikan pemutihan pajak.
Setiap hari Rabu, beliau mengajak dan memberi contoh kepada masyarakat untuk menggunakan moda transportasi publik.
Jakarta memiliki sejarah panjang dalam membangun dan mengalami pasang surut sosial-politik sebagai ibu kota negara, hingga kini dipersiapkan menjadi pusat bisnis berstandar global.
Sehingga, perbandingannya bukan lagi dengan Bandung, Medan, atau Surabaya, melainkan dengan Singapura, Bangkok, Tokyo, dan Shanghai.
Berbagai program unggulan dan prestasi yang telah diraih oleh para pemimpin sebelumnya, serta sinergi dengan pemerintah pusat, sangat terasa, sehingga tidak perlu lagi menawarkan program baru yang terkesan hanya sebagai pemanis.
Mas Pram adalah seorang politisi senior yang sangat berpengalaman. Di usia muda, beliau sudah dipercaya untuk menjabat sebagai Sekretaris Presiden Megawati sekaligus Sekretaris Jenderal PDI-P.
Kemudian, beliau menjadi anggota dan pimpinan DPR sebelum menjabat sebagai Sekretaris Kabinet selama hampir dua periode.
Saya perlu menekankan kata senior dan berpengalaman, karena kedua karakteristik tersebut sangat terlihat pada diri Mas Pram. Beliau tidak pernah bertindak gegabah, reaktif, atau emosional terhadap suatu fenomena.
Biasanya, beliau akan terdiam sejenak saat ada hal yang mengganggunya. Tampaknya, secara spontan, beliau memilih untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bereaksi.
Sikap inilah yang juga terlihat dalam rapat-rapat internal yang efektif, tanpa perlu ada yang dikorbankan untuk dimarahi demi menciptakan kesan tegas.
Ketika ditawarkan untuk memanfaatkan suatu momen demi pencitraan, beliau dengan tegas menolak. Sekali lagi, beliau memilih untuk menunjukkan kesungguhan dalam bekerja untuk warga.
Sedikit tentang Bang Doel. Menurut pandangan saya, beliau lebih spontan dan impulsif.
Beliau tampil apa adanya, terkadang meledak-ledak meskipun lebih banyak diselingi canda tawa.
Bang Doel mudah terusik oleh ketidakadilan, pelanggaran, atau ketidakberesan.
Saya melihat mantan aktor legendaris ini sebagai seorang pembelajar yang tekun. Beliau ingin mengetahui dan mencari solusi untuk banyak isu baru dan berat.
Pengalaman menjadi kepala daerah dan anggota DPR tentu sangat penting dalam membentuk kepemimpinan Bang Doel.
Bagi saya, beliau adalah seorang kakak yang penuh perhatian dan teman diskusi yang sangat menyenangkan.
Modalitas Kerja
Duet pemimpin baru Jakarta ini menyadari sepenuhnya bahwa memimpin Jakarta di saat seperti ini bukanlah hal yang mudah.
Oleh karena itu, sejak awal, mereka membangun gestur yang menunjukkan keinginan untuk menjaga hubungan baik dan bersinergi dengan pemerintah pusat.
Kontestasi politik telah usai. Kini saatnya untuk berkolaborasi. Tidak mungkin ada orang yang bisa sukses sendirian.
Lantas, modalitas apa yang dibangun oleh Mas Pram dan Bang Doel?
Pertama, bekerja dengan sistem. Sejak awal, Mas Pram menegaskan bahwa beliau akan bekerja dengan ASN Jakarta. Beliau tidak akan membawa ASN dari luar untuk menjadi pejabat di Pemprov Jakarta.
Mas Pram sangat percaya pada sistem yang rekam jejaknya cukup panjang selama beliau memimpin Setkab. Beliau sadar bahwa birokrasi adalah mesin yang harus dirangkul dan diarahkan, bukan untuk dicurigai dan dimusuhi.
Dengan mekanisme dan arahan yang jelas, sinergitas dibangun, bukan rivalitas.
Kantor Gubernur juga bukan merupakan ruang eksklusif, melainkan menjadi rumah bersama, yang disediakan untuk menerima audiensi dengan berbagai tamu dari beragam latar belakang.
Birokrasi adalah mesin utama yang dipercaya untuk bekerja, dibantu oleh para Staf Khusus dan Tenaga Ahli untuk memastikan akselerasi dan fokus pada program prioritas.
Rapat rutin dilakukan untuk membahas hal-hal strategis hingga teknis. Semua arahan dan keputusan diambil secara transparan.
Salah satu buktinya adalah penyusunan RPJMD secara teknokratik dan partisipatif, dalam arti meracik visi misi dan program Gubernur-Wakil Gubernur dalam kerangka pikir Asta Cita yang koheren dan sinergis, yang dibahas secara elegan dengan DPRD DKI Jakarta sebagai representasi rakyat.
Kedua, kolaborasi dengan para pemangku kepentingan.
Kematangan Mas Pram ditunjukkan dengan kepiawaiannya dalam mengelola dinamika politik. Residu dari kontestasi politik tidak perlu menjadi sentimen negatif dan subjektif.
Koordinasi dengan pemerintah pusat bahkan sangat intensif.
Saya adalah saksi hidup betapa Mas Pram terus mengingatkan dan memberikan arahan mengenai hal ini.
Saat Musrenbang Jakarta, setidaknya Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy hadir, selain para pejabat eselon 1 dari K/L.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti datang untuk berdiskusi tentang persiapan sensus ekonomi tahun depan.
Dewan Pengarah Kesamsatan Nasional–Kakorlantas, Dirjen Keuda Kemendagri, dan Dirut Jasa Rahardja pun berkunjung untuk berkoordinasi membangun tata kelola kendaraan bermotor yang lebih baik.
Gubernur Banten Andra Soni pun menyambangi Balai Kota dan dibalas dengan kunjungan silaturahmi Wagub Rano Karno, hingga berpuncak pada peluncuran bersama jalur baru TransJabodetabek.
Mas Pram pun sigap membangun kerja sama *contract farming* dengan Bupati Karawang yang merupakan daerah utama penghasil beras. Juga mengajak Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono, Bupati Bogor Rudy Susmanto, Wali Kota Depok Supian Suri, dan Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie untuk membangun integrasi moda transportasi publik yang menguntungkan warga.
Untuk mewujudkan Jakarta Collaboration Fund, Pemprov Jakarta tidak segan belajar langsung dari pengelolaan INA dan Danantara.
Termasuk untuk mengelola BUMD yang baik, Mas Pram meminta rekomendasi talenta terbaik dari BUMN yang akhirnya menjadi direksi Bank DKI, termasuk mengikuti arahan OJK untuk membangun sinergi Bank DKI dengan Bank Maluku dan Malut.
Beberapa waktu lalu, Gubernur NTT Melki Laka Lena mengajak seluruh bupati dan wali kota se-NTT berkunjung ke Balai Kota Jakarta untuk menjajaki kerja sama yang lebih erat.
Gubernur Maluku Utara pun datang bersama rombongan untuk belajar tentang JAKI, aplikasi terintegrasi sebagai basis pelayanan digital untuk warga DKI.
Terakhir, Gubernur Jakarta bersurat ke Mensesneg untuk mendapatkan arahan dan persetujuan revitalisasi kawasan Thamrin.
Ketiga, membuka ruang partisipasi yang luas. Sejak awal kontestasi di Pilgub DKI, Mas Pram-Bang Doel menyadari bahwa mereka tidak mungkin sendirian mengemban *mission impossible* ini.
Oleh karena itu, ruang partisipasi dibuka seluas-luasnya. Keterlibatan berbasis kesukarelawanan dengan memberikan prioritas pada komunitas warga dan budaya.
Kemenangan Pram-Doel merupakan kemenangan politik partisipatoris. Pilar-pilar penting yang dapat menopang roda kerja politik dirangkul dan diberdayakan.
Sejak pelantikan, para mantan gubernur DKI diundang, disapa, dan didengarkan. Jakarta menjadi milik semua. Bahkan mantan rival saat Pilgub pun diterima dan didengarkan masukannya.
Untuk memperkuat, Bang Doel melapis dengan membangun relasi kuat dengan komunitas seni, budaya, olahraga, dan lainnya. Salah satu komitmen partisipatoris adalah IPO BUMD DKI untuk memastikan pengawasan publik secara luas dan langsung.
Keempat, Kota Global sebagai *game changer*. Secara legal sesuai UU 2/2024, Jakarta masih tetap menyandang status Ibukota NKRI hingga perpindahan formal ke IKN dilakukan.
Sesuai mandat UU 2/2024, Jakarta bergegas untuk mewujudkan impian sebagai kota global.
Ini bukan soal ambisi, melainkan ikhtiar agar seluruh indikator pelayanan publik memiliki *benchmark* yang unggul.
Sektor pendidikan, kesehatan, transportasi publik, energi dan pengelolaan sampah, ekonomi kreatif, dan budaya adalah fokus yang harus digarap dengan baik agar Jakarta layak menjadi kota global yang membanggakan.
Di titik inilah imajinasi Mas Pram menemukan konteks dan relevansi. Beliau selalu teringat pada pengalaman masa kecil melihat Monas, yang menyemangatinya untuk belajar serius dan berprestasi.
Itu pula yang beliau lakukan ketika mengaktivasi taman 24 jam, membuka perpustakaan dan museum lebih lama, dan memberi kesempatan anak-anak mengunjungi TMII, Monas, Ancol secara gratis.
Beliau ingin menularkan mimpi masa kecil dan pengalaman mendidik anak kepada orang lain.
Program 100 Hari sebagai Fondasi
Garis ketidakberuntungan harus diputus! Itu sebuah pernyataan politik yang lugas dan proposisi filosofis yang mendalam.
Saya langsung teringat John Rawls, teoretikus keadilan paling masyhur yang mengusulkan maslahat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung sebagai ukuran sahih bagi kebijakan publik.
Dalam batu pijak pemikiran Rawls, saya pun teringat usulan Amartya Sen, ekonom besar peraih Nobel, yang mengusulkan pendekatan kapabilitas sebagai ukuran capaian pembangunan, alih-alih sekadar angka statistik PDB, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, atau nilai tukar.
Dan rangkaian pemikiran penting itu saya temukan dalam kepemimpinan Mas Pram-Bang Doel.
Saya perlu kembali ke awal, Program 100 Hari Pram-Doel bukanlah upaya untuk gagah-gagahan.
Ini adalah proyek yang sengaja diciptakan untuk merangsang imajinasi bersama. Tidak perlu muluk-muluk, tetapi menjangkau kebutuhan dasar warga Jakarta.
Kita belajar mendengarkan dan menjawab keinginan warga – demikian Mas Pram berulang kali mengingatkan.
Maka, 40 program prioritas itu lebih tepat diletakkan sebagai fondasi dan batu bata pertama dari sebuah konstruksi jembatan yang disiapkan dalam lima tahun ke depan.
Layaknya fondasi, ia tidak tampak di permukaan. Namun, harus kokoh dan solid.
Maka, komitmen ini dituangkan dalam Instruksi Gubernur agar mengikat seluruh mesin birokrasi dan dapat diawasi oleh seluruh pihak.
Kami menyusun indikator capaian yang terukur. Sekali lagi, ini bukan hasil akhir melainkan langkah awal.
Bagaikan langkah pembuka dalam permainan catur atau sepakan pertama di sepak bola, yang akan menentukan irama permainan selanjutnya.
Implementasi 40 program di 100 hari pertama ini juga sekaligus dimaksudkan sebagai batu uji dan instrumen partisipasi publik.
Batu uji untuk mengukur kesiapan mesin birokrasi dan seluruh perangkat teknisnya. Ada keterlibatan, termasuk aspirasi dan kritik. Hal yang amat penting dan sehat dalam pemerintahan demokratis.
Jika sedikit bernostalgia, apa yang disodorkan Mas Pram dan Bang Doel sejatinya adalah model *people-centered development* yang terkenal di akhir abad ke-20.
Warga menjadi subjek dan aktor utama pembangunan.
Proyek memutus garis ketidakberuntungan dimulai dari menebus ijazah yang tertahan sehingga mereka bisa bersaing mendapatkan pekerjaan yang layak.
Lalu, penerima KJP dan KJMU diperluas dengan tetap memperhatikan akurasi data. Bahkan, penerima KJMU akan diperluas ke jenjang S2 dan S3, demi mewujudkan mimpi bahwa siapapun berhak pintar dan sukses.
Proyek rumah sakit berstandar internasional dimulai, di tengah komersialisasi sektor kesehatan. Maksudnya sederhana, agar setiap warga Jakarta dapat mengakses layanan kesehatan terbaik sebagai hak dasar warga.
Meminjam Ronald Dworkin, ini adalah sebuah imajinasi bahwa siapa pun berhak bermimpi menjadi orang kaya dan akan membayar pajak, seraya berharap saat sakit akan ditolong oleh negara.
Mas Pram bisa membayangkan tingkat stres warga Jakarta yang bertahun-tahun hidup dengan kemacetan tanpa jalan keluar selain pasrah.
Juga banjir tahunan yang meluas dan dampaknya sangat merugikan. Dua hal ini ingin dijawab secara teknokratik dan sedini mungkin.
Maka, 100 Hari Pertama adalah sinyal keberpihakan dan kesungguhan.
Di hari pertama bekerja, pasukan warna-warni diaktifkan kembali. Selain mengeruk kali dan normalisasi bantaran, juga penanganan sampah hingga merawat para lansia.
*Daycare* yang menjadi kebutuhan vital keluarga-keluarga di Jakarta, juga mulai disediakan.
Untuk memastikan inisiatif ini berjalan secara *bottom up*, pengurus RT/RW, Jumantik, Dasawisma, Posyandu diberi tugas tambahan dan disesuaikan insentifnya.
Wilayah RT/RW sebagai komunitas basis juga akan diintegrasikan dengan CCTV terpadu sehingga aspek keamanan dan kenyamanan tetap terjaga, tentu dengan tetap menjaga privasi warga.
Kembali ke soal manusia. Problem klasik seperti tawuran, kekerasan, penyerobotan trotoar, parkir liar, dan lainnya adalah problem sosial yang harus dikenali akar masalahnya dan dicarikan solusi komprehensif berjangka panjang.
Barangkali terdengar utopis, tetapi aktivasi ruang publik kota merupakan prasyarat mutlak.
Pun logika transportasi publik bukan sekadar isu mobilitas, tetapi bersinggungan dengan problem sosial yang lebih luas.
Dengan transportasi publik yang baik dan penghematan waktu tempuh, warga diharapkan memiliki waktu lebih untuk menikmati kehidupan sosial.
Warga kota yang dihimpit laju ekonomi kapitalistik yang tak kenal lelah mengejar laba membutuhkan ruang publik sebagai katarsis.
Individualisme dan gejala atomisme masyarakat perkotaan harus menjadi perhatian, maka kohesi sosial harus dipulihkan dan dirawat.
Taman kota adalah bentuk keberpihakan pada warga yang butuh ruang terbuka yang segar, sebagai sarana memulihkan relasi lewat perjumpaan.
Perpustakaan dan museum yang dibuka lebih lama juga sinyal bagi perhatian untuk memperkuat modal sosial, di samping perhatian yang lebih besar bagi tumbuh kembangnya budaya sebagai bentuk ekspresi kolektif warga.
Tentu saja itu tidak cukup. Namun, gerak langkah bersama berbasis sistem, pola kerja, partisipasi, dan kontrol publik ini diharapkan lebih menjamin ikhtiar menjaga dan mengoptimalkan peran Jakarta bagi kebaikan warga.
Melalui pengamatan dari jarak dekat pada cara bekerja dan berpikir Mas Pram dan Bang Doel, harapan itu kuat terpancar.
Kerja-kerja teknokratik secara rutin dijalankan.
Sisi pendapatan, belanja, pembiayaan, dan kinerja BUMD dicermati dalam detail. Penyediaan air bersih, pengolahan sampah terpadu, dan pengembangan ekonomi yang mendatangkan nilai tambah terbesar bagi warga, terus menjadi perhatian.
Ini membuat saya *déjà vu* pada cara kerja Bu Sri Mulyani saat saya lima tahun membantu di Kementerian Keuangan. Kerja sunyi yang butuh ketekunan dan daya juang. Mirip pepatah Jawa, *sepi ing pamrih rame ing gawe*.
Saya semakin sadar, Mas Pram dan Bang Doel sedang meletakkan batu penjuru untuk fondasi yang kuat.
Mereka sedang berupaya membangun jembatan untuk mengantar warga Jakarta, dan tentu juga sekitarnya, untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kondisi hidup yang lebih baik.
Waktu 100 hari di awal sudah pasti tidak cukup untuk menilai. Namun, kiranya cukup *fair* dijadikan sinyal awal tentang kesungguhan bekerja melayani publik.
Perjalanan masih panjang. Tidak perlu tergoda untuk berlomba membangun persepsi di atas fondasi batu yang rapuh.
Kerja telaten dengan fondasi yang kuat dan sabar menata bata demi bata kiranya menjadi cara kerja yang baik.
Itulah analogi untuk komitmen menjaga integritas, bekerja profesional, menjaga akuntabilitas, berfokus pada kebaikan bersama.
Dan itu hanya mungkin jika kita percaya pada kerja kolektif, membangun sosialitas, dan sudi mengempiskan ego yang terkadang menggoda diri untuk menangguk segala citra baik.
Selamat dengan capaian 100 hari, Mas Pram dan Bang Doel.
Warga Jakarta dan publik luas, mari terus kawal dengan keterlibatan, masukan, gagasan, dan kritik. Mimpi Jakarta sebagai kota global adalah mimpi Indonesia, rumah kita bersama.