Sidang Hasto: Temuan Baru & Daur Ulang Putusan Inkrah?

Admin

15/06/2025

5
Min Read

On This Post

Dalam persidangan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menguraikan perihal penemuan baru dalam sebuah perkara yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Lebih lanjut, Fatahillah Akbar juga menjelaskan mengenai daur ulang dalam pembuktian temuan baru tersebut.

Penjelasan tersebut disampaikan Fatahillah Akbar ketika dihadirkan oleh jaksa KPK sebagai seorang ahli dalam sidang kasus dugaan suap PAW untuk Harun Masiku dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada hari Kamis (5/6/2025). Awalnya, jaksa KPK menanyakan pendapat Fatahillah Akbar terkait penemuan tersangka baru dalam suatu perkara yang telah selesai disidangkan atau inkrah.

"Sebagai ilustrasi, misalkan terdapat empat pelaku tindak pidana suap, baik pemberi maupun penerima, yang telah disidangkan di pengadilan dan putusannya sudah inkrah. Kemudian, dalam proses perkembangan penyidikan, ditemukan fakta baru yang mengindikasikan adanya tersangka baru," tanya jaksa KPK.

"Jadi, terdapat fakta hukum baru yang ditemukan oleh penyidik yang sebelumnya belum terungkap selama persidangan perkara terdahulu. Dalam konteks hukum pidana, apakah hal seperti ini dimungkinkan?" lanjutnya.

Fatahillah Akbar kemudian memberikan penjelasannya. Ia menyampaikan bahwa pemeriksaan perkara pidana dapat berdiri sendiri dan dalam prosesnya, fakta baru dapat ditemukan untuk pengembangan perkara.

"Dengan demikian, apabila ditemukan fakta-fakta baru, pemeriksaan dapat dilakukan kembali terhadap individu yang belum pernah diproses. Namun, jika individu tersebut sudah pernah diproses, maka akan timbul permasalahan terkait pasal nebis in idem," jelas Fatahillah Akbar.

Fatahillah Akbar menekankan bahwa seseorang tidak boleh dituntut atas perbuatan pidana yang sama. Akan tetapi, penuntutan terhadap tersangka yang merupakan temuan baru dalam pengembangan perkara pidana diserahkan sepenuhnya kepada majelis hakim.

"Namun, sepanjang individu tersebut belum pernah diproses, dan ditemukan fakta yang menghubungkannya dengan proses yang telah diputus di persidangan, maka hal ini akan diserahkan kepada majelis hakim yang berwenang untuk menilai. Penilaian ini meliputi pemeriksaan alat bukti, termasuk pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli, dan lain sebagainya, yang melekat pada proses pemeriksaan sidang yang sedang berjalan," paparnya.

Selanjutnya, jaksa menanyakan apakah pembuktian temuan baru tersebut akan terikat dengan fakta hukum dalam putusan sebelumnya yang sudah inkrah. Fatahillah Akbar menjawab bahwa majelis hakim yang berwenang akan menilai pembuktian alat bukti, saksi, dan ahli terkait temuan baru tersebut di persidangan.

"Apakah dalam proses penyidikan, serta dalam tahap proses persidangan, pembuktian perkara terikat dengan fakta hukum yang telah dituangkan dalam pertimbangan hakim dalam putusan perkara yang sudah inkrah? Bagaimana pendapat ahli?" tanya jaksa KPK.

"Bahkan dalam kasus yang di-splitting pun, hal itu tetap melekat pada pemeriksaan, meskipun sudah ada putusan yang inkrah terlebih dahulu. Kewenangan majelis hakim untuk menilai fakta-fakta yang dihadirkan dalam persidangan tetap ada dan relevan. Keterangan saksi, keterangan ahli, dan lain sebagainya yang diperiksa di dalam persidangan itulah yang mengikat hakim untuk memutus perkara," jawab Fatahillah Akbar.

Fatahillah Akbar menegaskan bahwa putusan pengadilan yang sudah inkrah merupakan fakta hukum. Ia menjelaskan bahwa fakta hukum dalam persidangan lain melekat pada proses pemeriksaan alat bukti dalam sidang tersebut.

"Jadi, fakta hukum yang terungkap di persidangan itulah yang akan menjadi fakta dan menjadi dasar bagi hakim dalam mengambil keputusan. Apakah benar demikian?" tanya jaksa KPK.

"Ya, betul sekali. Perlu saya pertegas bahwa putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap dapat kita sebut sebagai fakta hukum. Namun, fakta hukum dalam persidangan lain yang sedang berjalan tetap melekat pada proses pemeriksaan alat bukti yang dilakukan dalam proses pemeriksaan tersebut," jawab Fatahillah Akbar.

Jaksa kemudian menggali lebih dalam pendapat Fatahillah Akbar mengenai daur ulang perkara yang sudah diputus. Jaksa bertanya apakah menghadirkan saksi yang sama dalam sidang pembuktian temuan baru dapat dianggap sebagai sebuah proses daur ulang pengadilan.

"Dalam proses persidangan terkait dengan tersangka baru yang menjadi terdakwa dalam perkara yang sama, tentunya kami memiliki kewajiban untuk menghadirkan alat bukti yang sama, seperti keterangan saksi, alat bukti petunjuk, surat, dan lain sebagainya. Apakah persidangan seperti ini dapat dikatakan sebagai daur ulang dalam tanda kutip?" tanya jaksa KPK.

Fatahillah Akbar kemudian memberikan pendapatnya. Ia mengumpamakan bahwa tiga orang yang dijerat pidana tetap harus diproses hukum meskipun persidangan salah satu pelaku sudah lebih dulu inkrah.

"Apabila terdapat tiga orang yang melakukan perbuatan pidana yang sama, maka untuk ketiga orang tersebut, meskipun di-split, alat bukti, saksi, dan lain sebagainya dapat diterapkan dan digunakan yang sama terhadap ketiganya. Perbedaannya hanya terletak pada waktu yang berbeda. Misalnya, salah satunya sudah inkrah atau belum, namun hal itu tetap akan diproses hukum," ujarnya.

Fatahillah Akbar memberikan contoh perbuatan pidana yang melibatkan pelaku anak dan satu orang pelaku dewasa. Ia menjelaskan bahwa proses hukum pelaku dewasa harus tetap dilanjutkan meskipun putusan terhadap pelaku anak sudah lebih dulu diputus karena adanya batasan waktu penahanan.

"Sebagai contoh, misalkan ada orang dewasa melakukan splitting dengan anak. Keduanya melakukan penyertaan, keduanya ditahan, sedangkan anak memiliki batasan waktu penahanan. Ketika anak memiliki batasan waktu penahanan, mau tidak mau sidangnya akan lebih dulu, padahal bisa jadi anak tersebut bukan pelaku utamanya," kata Fatahillah Akbar.

"Sidang anak tersebut lebih dulu dan putusannya inkrah lebih dulu daripada putusan pelaku dewasanya yang utama karena anak tersebut memiliki batasan waktu penahanan yang lebih lama. Akan tetapi, putusan anak tadi tidak mengikat, pelaku utama tetap harus diperiksa secara obyektif di dalam proses pemeriksaan sidang di pengadilan," lanjutnya.