AI: Senjata Baru Kejahatan Siber? Ini Kata Ahli!

Admin

10/06/2025

6
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjanjikan sebuah revolusi teknologi yang signifikan di berbagai sektor. Akan tetapi, AI layaknya sebuah pedang bermata dua yang memiliki dua sisi yang berbeda.

MasterV, Jakarta – Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjanjikan sebuah revolusi teknologi yang signifikan di berbagai sektor. Akan tetapi, AI layaknya sebuah pedang bermata dua yang memiliki dua sisi yang berbeda.

Di satu sisi, kehadirannya dipandang mempermudah masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ada. Namun, di sisi lain, ia hadir sebagai ancaman menakutkan, menjadi rekan baru bagi dunia kejahatan. AI memiliki sisi gelap yang perlu diwaspadai.

“Ini adalah situasi yang inevitable, sesuatu yang tak terhindarkan,” ujar Ketua Komtap Cyber Security Awareness, Alfons Tanujaya, dalam sebuah perbincangan, Sabtu (31/5/2025).

Alfons menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dunia, seperti OpenAI dan Google, tengah berkompetisi dengan sengit dalam mengembangkan AI.

Menurutnya, siapa pun yang terlambat akan tertinggal, bahkan mungkin akan kalah dan lenyap. Hal serupa juga berlaku bagi negara-negara maju. Amerika Serikat dan Tiongkok berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam menciptakan AI yang cerdas dan adaptif.

“Jadi, perkembangan AI memang tak terhindarkan. Dan yang jelas, perkembangannya semakin pesat,” kata Alfons.

Konsekuensinya, kemajuan pesat dalam kemampuan kecerdasan buatan membuat semakin sulit untuk membedakan antara realitas dan rekayasa. Batasan antara yang palsu dan yang nyata menjadi semakin kabur.

AI kini mampu menghasilkan konten yang sangat meyakinkan, baik dari segi visual, audio, maupun naratif. Hal ini tentu saja menyulitkan proses identifikasi, bahkan bagi para pakar IT sekalipun.

“Dan kejahatan yang memanfaatkan AI jelas akan semakin merajalela,” tegasnya.

Penyalahgunaan AI dalam tindak kejahatan di dunia digital, menurut Alfons, semakin banyak ditemui. Ia mencontohkan pemalsuan video dan suara sebagai bentuk paling nyata dari kejahatan berbasis AI.

Teknologi deepfake dan voice cloning memungkinkan pelaku kejahatan untuk mengganti wajah seseorang dalam video, meniru suara seseorang, kemudian mengemasnya menjadi konten yang tampak sangat meyakinkan.

Ia menyebut istilah face changing dan voice changing sebagai fitur-fitur AI yang paling sering dimanfaatkan untuk membuat pemalsuan identitas.

Identitas palsu tersebut kemudian digunakan untuk melakukan penipuan, menciptakan narasi palsu yang seolah-olah autentik, dan memperkeruh suasana di dunia digital yang sudah dipenuhi oleh disinformasi.

“Mungkin yang paling menonjol adalah pemalsuan video yang sedemikian mudah dan menghasilkan hasil yang sedemikian sempurna. Intinya, konten-konten digital yang sangat sulit dibedakan dari aslinya, bahkan oleh ahli IT yang berkecimpung dengan media konten sekalipun, sangat sulit membedakan baik dengan mata telanjang maupun dengan analisa media. Jadi, itulah kenyataannya,” jelas Alfons.

Alfons menilai bahwa potensi kriminal dari AI sangatlah besar. Menurutnya, semakin mirip dan sulit dideteksinya konten palsu, semakin besar pula potensi AI untuk dijadikan alat baru dalam melakukan tindak pidana kejahatan.

“Akan ada banyak sekali konten penipuan dan kejahatan yang akan memanfaatkan AI, menggunakan AI dalam menjalankan aksinya,” ucap Alfons.

Alfons tidak memiliki data pasti mengenai angka peningkatan kejahatan yang secara langsung terkait dengan AI. Meskipun demikian, ia menekankan bahwa keberhasilan kejahatan di ruang digital tetap bertumpu pada rekayasa sosial.

Menurutnya, penipuan yang paling berhasil justru lahir dari skema sosial yang dirancang dengan sangat baik, yang membuat korban merasa nyaman, percaya, dan tidak menaruh curiga. Dengan kata lain, AI hanyalah sebuah alat. Pelaku kejahatanlah yang menjadikannya sebagai senjata.

“Jadi, tidak melulu mengandalkan konten yang sangat bagus, sangat mirip, bukan. Tetapi kunci penipuan yang paling berhasil adalah yang memanfaatkan rekayasa sosial yang baik. Semakin bagus rekayasa sosialnya, maka kemungkinan berhasil akan semakin tinggi. Jadi, kunci bukan di konten AI, tapi rekayasa sosial dan penipu yang memang memanfaatkan AI,” jelas Alfons.

Masalah lain yang tak kalah serius adalah ketertinggalan sistem hukum dalam merespons kecepatan perubahan teknologi. Tidak hanya di Indonesia, bahkan negara-negara maju pun, menurut Alfons, juga merasa kewalahan.

“Jangankan sistem hukum di Indonesia, sistem hukum di luar saja, katakanlah Uni Eropa, Amerika, saya tidak yakin siap menghadapi tantangan teknologi seperti AI. Karena perkembangannya sangat cepat dan sistem hukum sangat lambat mengikuti, membuat aturan, membuat undang-undang, atau pelaksanaannya sangat lambat di negara maju sekalipun,” tuturnya.

“Apalagi di Indonesia yang untuk membuat aturan saja susah bertahun-tahun. Setelah aturan turun, undang-undang turun, dilaksanakannya bertahun-tahun begitu, ya lebih lambat lagi,” sambungnya.

Indonesia, kata Alfons, tidak bisa terlalu berharap pada regulasi AI semata. Ia menekankan pentingnya kualitas penegakan hukum dibandingkan banyaknya regulasi.

“Saya rasa tanpa undang-undang yang rumit, dengan Undang-Undang ITE atau Undang-Undang Dasar untuk menerapkan keadilan itu bisa kok melindungi masyarakat, asalkan penegak hukumnya yang memang mempunyai hati dan mau membantu, saya pikir itu memang lebih penting,” ucapnya.

Pada praktiknya, Alfons mengakui bahwa institusi penegak hukum seperti polisi masih tertatih-tatih dalam menangani kejahatan di ruang digital, terlebih lagi yang sudah melibatkan AI.

“Polisi harus meningkatkan kemampuan personelnya untuk melindungi masyarakat dari kejahatan digital saja kelihatannya tertatih-tatih,” ujar Alfons.

Alfons mencontohkan banyaknya kasus kebocoran data yang tidak tertangani, serta minimnya respons terhadap laporan masyarakat.

“Karena banyak kebocoran data yang terjadi kemudian dieksploitasi dan kejahatannya kecil-kecil sehingga kalau kami lihat penegak hukum khususnya polisi kewalahan kalau kita lapor berapa banyak yang ditindaklanjuti,” ungkapnya.

Alfons menyebut OJK dan Kominfo sebagai pihak yang bisa membantu, meskipun ia juga mengakui efektivitasnya masih perlu dievaluasi.

“Mungkin dibantu oleh OJK atau pihak terkait seperti Kominfo. OJK ada IASC, jadi pelaporan kejahatan digital. Walaupun itu tidak efektif, setidaknya ada IASC yang bisa membantu itu,” terangnya.

Agar tidak menjadi korban penipuan AI, Alfons menyarankan masyarakat untuk bersikap skeptis terhadap informasi yang beredar. Ia meminta agar tidak langsung percaya pada informasi atau konten yang diterima, apalagi menyebarkannya secara gegabah.

“Jangan mudah percaya, anda jangan main forward segala macam. Informasi yang kelihatannya menarik, enggak tahunya itu hoaks, lalu anda sebarkan, anda malah terjerat masalah hukum atau hal lainnya,” ucap Alfons.

Ia kembali mengingatkan betapa sulitnya membedakan konten AI, bukan hanya bagi masyarakat awam, bahkan bagi orang IT pun demikian. Sehingga, apabila masyarakat merasa ragu dengan informasi yang diterima, alangkah baiknya untuk mengecek ke sumber terpercaya seperti media mainstream.

“Kalau enggak ada, udah, anggap itu AI dan jangan mudah anda sebarkan,” kata Alfons.

Alfons menyarankan kepada para penegak hukum untuk bergerak cepat, bukan hanya dalam hal penindakan, tetapi juga pencegahan. Ia kemudian mencontohkan persoalan pembukaan rekening palsu dengan KTP fiktif, yang hingga kini menjadi lahan subur bagi kejahatan di ruang digital.

“Kalau terlalu banyak dicari yang efektif bagaimana membasminya, ya dicari cara yang efektif. Misal, bank dilihat siapa yang buka rekening. Ditindak dengan jelas,” ucapnya.

Alfons menyarankan agar bank memperketat penerapan prinsip Know Your Customer (KYC), termasuk dengan menggunakan alat untuk mengidentifikasi keaslian KTP. “Kalau pakai itu kan artinya KTP palsu enggak bisa digunakan,” ujar Alfons.

Ia bahkan mengusulkan agar masyarakat yang terbukti meminjamkan identitasnya untuk kejahatan agar dijerat hukum. “Harus ditindak dengan tegas karena kamu membantu untuk tindakan kejahatan. Kira-kira hal seperti itu yang dilakukan,” kata Alfons.

Ia juga menyarankan agar OJK ikut turun tangan menindak tegas masyarakat yang terbukti meminjamkan KTP untuk membuat rekening palsu.

“Setiap kali ada satu identitas untuk membuka rekening palsu, itu kalau bisa selain diblokir rekeningnya, pemilik rekening juga dikenai sanksi. Diselidiki kalau memang dia sengaja memberikan identitas, itu tidak boleh lagi membuka rekening. Blacklist gitu. Nah, itu sangat membantu dan efektif mengatasi penyalahgunaan identitas untuk membuka rekening palsu,” Alfon menjelaskan.