Bahaya AI bagi Anak? Pakar Ingatkan Orang Tua!

Admin

08/06/2025

4
Min Read

Perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menghadirkan serangkaian tantangan baru yang tak terelakkan bagi dunia pendidikan serta perkembangan anak-anak di Indonesia.

Meskipun AI memiliki potensi untuk memperkuat sistem pembelajaran, tanpa persiapan yang matang, teknologi ini justru berisiko menimbulkan kesenjangan kognitif dan etis yang berbahaya bagi generasi penerus. Hal inilah yang perlu dipahami oleh masyarakat luas, khususnya para orang tua.

Menurut laporan Readiness Assessment Methodology UNESCO (2024), Indonesia dinilai belum sepenuhnya siap dalam mengadopsi AI secara komprehensif. Salah satu perhatian utama adalah kurangnya kesiapan sumber daya manusia, baik dari kalangan pelajar, pendidik, masyarakat umum, sektor industri, maupun pemerintahan. Mereka dinilai masih belum mampu memahami, menggunakan, dan mengawasi AI secara etis serta bertanggung jawab.

Dalam konteks ini, Diena Haryana, Founder Sejiwa Foundation, menegaskan pentingnya penguatan karakter dan life skill sejak usia dini sebagai fondasi utama dalam menghadapi disrupsi teknologi. Beliau menyampaikan bahwa anak-anak dapat dengan mudah terhanyut dalam dunia digital. Terlebih lagi dengan hadirnya AI yang memiliki kemampuan luar biasa dalam menarik perhatian mereka, baik melalui game, chatbot, maupun konten kreatif lainnya.

“Jika tidak berhati-hati, hal ini dapat menggerogoti kemampuan dasar mereka untuk bersosialisasi, mengurus diri sendiri, bahkan sekadar mendapatkan tidur yang cukup. Kita tidak boleh membiarkan anak-anak tumbuh tanpa life skills, tanpa keterampilan sosial, dan kehilangan sisi kemanusiaannya,” ujar Diena, Jumat (30/5/2025).

Menurut Diena, sebelum memperkenalkan AI, anak-anak perlu terlebih dahulu dibekali dengan kemampuan mendasar seperti; life skills, social skills, physical skills, dan spiritual skills yang kokoh. Tanpa itu, teknologi justru berpotensi mengikis sisi kemanusiaan mereka dan menjadikan mereka “kurang manusiawi.”

Lebih lanjut, Diena menekankan bahwa teknologi seharusnya dikendalikan oleh manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, sejak usia dini, anak-anak harus dilatih untuk mencintai kehidupan, terhubung dengan lingkungan sekitar, dan dibekali dengan kebutuhan untuk berinteraksi secara nyata, sebelum teknologi digital diberikan sebagai alat bantu.

Disrupsi pada Dunia Pendidikan serta Perkembangan Anak

Penggunaan AI di sektor pendidikan diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan personalisasi pembelajaran, efisiensi, dan akses informasi yang hampir tak terbatas. Namun, di sisi lain, ketergantungan pada AI tanpa pendampingan yang memadai pada anak, justru berisiko mengurangi ruang eksplorasi, interaksi sosial, hingga empati yang sangat penting dalam tahapan perkembangan anak.

Diena menegaskan bahwa peran keluarga sangat krusial sebagai pelindung, pengarah, sekaligus pendamping dalam memperkenalkan teknologi kepada anak.

“Sebelum dikenalkan dengan teknologi, anak-anak perlu terlebih dahulu dibekali dengan keterampilan dasar seperti berpikir kritis, empati, kedisiplinan, dan kebijaksanaan. Nilai-nilai inilah yang akan menjadi fondasi karakter dan membentuk mereka sebagai manusia seutuhnya,” tuturnya.

Dalam konteks pendidikan formal dan informal, Diena menyoroti pentingnya pendekatan bertahap (gradual approach) yang tidak hanya berfokus pada penguasaan teknologi, tetapi juga pada konsep unggul dan tangguh dalam perkembangan anak.

“Kita harus terlebih dahulu membangun ketertarikan anak pada dunia nyata. Baru kemudian memperkenalkan keterampilan digital yang relevan,” ucapnya.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan karakter yang komprehensif melalui penguatan keterampilan dasar: keterampilan hidup, keterampilan fisik, sosial, dan spiritual.

Teknologi yang Berpihak pada Anak

Menanggapi disrupsi yang ditimbulkan oleh teknologi, Diena menyampaikan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan perkembangan anak. Ia mengingatkan bahwa adopsi teknologi, khususnya AI, tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Pengaplikasiannya harus dilandasi pendekatan yang bijak dan berpihak pada kepentingan anak.

“Izinkan anak-anak kita membangun keunggulan dan ketangguhan diri terlebih dahulu dalam hidup secara menyeluruh, baru kemudian diperkuat dengan teknologi digital,” kata Diena.

Menurut Diena, pembangunan karakter anak harus menjadi fondasi utama. AI harus diposisikan sebagai alat bantu dalam proses pendidikan dan kehidupan, bukan sebagai pengganti interaksi nyata dan pengalaman hidup yang esensial.

Ia juga mengungkapkan pentingnya kolaborasi multipihak untuk menciptakan ekosistem AI yang aman dan sehat bagi generasi muda. Pemerintah, industri, institusi pendidikan, serta keluarga memegang peran strategis dalam memastikan bahwa teknologi berfungsi sebagai pendukung, bukan penghambat tumbuh kembang anak.

Video: Skill Kuasai AI Kini Jadi Pertimbangan Perusahaan Rekrut Karyawan

Video: Skill Kuasai AI Kini Jadi Pertimbangan Perusahaan Rekrut Karyawan