JAKARTA, MasterV – Peraturan baru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai skema pembagian risiko, atau yang dikenal sebagai co-payment, dipandang lebih bijaksana ketimbang opsi di mana nasabah harus menghadapi lonjakan premi akibat inflasi medis dan peningkatan rasio klaim yang terus meroket.
Irvan Rahardjo, seorang pengamat asuransi, menghimbau para nasabah untuk tidak merasa keberatan dalam menanggung sebagian klaim. Menurutnya, ini adalah bentuk pembagian risiko yang esensial untuk menjaga keberlanjutan kemampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajiban pembayaran klaim.
Pendekatan ini, menurut pandangannya, jauh lebih menguntungkan dibandingkan harus menghadapi kenaikan premi asuransi kesehatan yang signifikan.
FREEPIK/FREEPIK Asuransi, pada dasarnya, merupakan perjanjian hukum yang mengikat antara dua entitas: perusahaan asuransi (penanggung) dan nasabah (tertanggung).
"Tujuannya adalah menjaga sustainability perusahaan asuransi dalam memberikan pelayanan terbaik kepada para nasabahnya," ungkapnya kepada MasterV, dalam wawancara pada Jumat (6/6/2025).
Irvan juga menekankan bahwa implementasi aturan co-payment ini tidak akan secara signifikan mengurangi minat masyarakat untuk membeli produk asuransi kesehatan.
"Sebab, laju kenaikan klaim asuransi kesehatan, atau inflasi medis, terus mengalami peningkatan yang melampaui persentase nilai klaim yang menjadi tanggungan nasabah," jelasnya lebih lanjut.
Bagi perusahaan asuransi, Irvan menjelaskan bahwa strategi kunci yang perlu ditempuh adalah peningkatan kualitas pelayanan dan efisiensi operasional.
"Selain itu, penting untuk mengkomunikasikan secara transparan bahwa nasabah dan perusahaan asuransi berada dalam satu visi yang sama. Asuransi adalah bentuk gotong royong, di mana kita berbagi suka dan duka bersama. Sharing the pain, sharing the gain," paparnya.
Sebagai ilustrasi, Irvan mengungkapkan bahwa sudah menjadi pengetahuan umum dalam ekosistem asuransi kesehatan bahwa tingkat moral hazard, atau kecurangan, tergolong cukup tinggi.
Praktik ini dapat terjadi di berbagai pihak, termasuk rumah sakit, dokter, paramedis, bahkan pasien atau nasabah itu sendiri.
SHUTTERSTOCK/VALERI LUZINA Ilustrasi asuransi kesehatan.
"Salah satu contohnya adalah overutilization, yaitu penggunaan diagnosis medis dan pengobatan yang berlebihan dengan memanfaatkan situasi. Penerapan tanggungan sendiri menjadi salah satu cara untuk mencegah terjadinya hal semacam itu," pungkasnya.
Sebagai informasi tambahan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan (SEOJK 7/2025).
Salah satu aspek yang menarik perhatian publik adalah terkait dengan mekanisme patungan pembayaran klaim dalam asuransi kesehatan, atau skema pembagian risiko.
Secara sederhana, ini merupakan proporsi biaya kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemegang polis, tertanggung, atau peserta asuransi.
Dalam aturan yang baru ini, pemegang polis diwajibkan untuk menanggung setidaknya 10 persen dari total pengajuan klaim rawat jalan atau rawat inap di fasilitas kesehatan.
Namun demikian, terdapat batasan maksimum yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp 300.000 per pengajuan klaim rawat jalan dan Rp 3 juta per pengajuan klaim rawat inap.