Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya dalam menanggulangi masalah tingginya proporsi pekerja di sektor informal. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, menekankan pentingnya transisi dari sektor informal menuju sektor formal yang berkelanjutan serta inklusif.
"Data Februari 2025 memperlihatkan bahwa lebih dari 59 persen pekerja di Indonesia masih bergelut di sektor informal. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm yang mengindikasikan perlunya perubahan yang sistematis dan nyata," ungkap Immanuel dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/6/2025). Pernyataan tersebut disampaikannya dalam forum Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference/ILC) ke-113 di Jenewa, Swiss, pada hari Rabu (4/6).
Guna mempercepat pergeseran pekerja dari sektor informal ke sektor formal, beliau menjelaskan bahwa pemerintah telah merancang tiga strategi utama yang akan diimplementasikan secara bersamaan. Strategi pertama adalah menciptakan lapangan kerja formal yang berlandaskan ekonomi hijau dan digitalisasi industri. Strategi kedua berfokus pada peningkatan kompetensi tenaga kerja melalui program pelatihan vokasi dan pemagangan industri. Sementara itu, strategi ketiga bertujuan untuk memperkuat layanan penempatan kerja melalui digitalisasi sistem nasional melalui platform SIAPKerja.
"Langkah-langkah ini kami ambil dengan tujuan agar sistem ketenagakerjaan di Indonesia menjadi lebih tangguh dan adaptif dalam menghadapi kemajuan teknologi serta perubahan dinamika pekerjaan di masa mendatang," tutur Immanuel.
Beliau juga menegaskan bahwa secara prinsip, seluruh strategi ini selaras dengan Rekomendasi ILO No. 204, yang mengimbau negara-negara anggota untuk mendukung transisi dari ekonomi informal ke formal dengan menjamin hak-hak pekerja, meningkatkan produktivitas, serta menyediakan perlindungan sosial yang inklusif.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah terus berupaya memperluas jangkauan perlindungan sosial, termasuk bagi para pekerja informal. Program-program seperti Kartu Prakerja dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bukan hanya menjadi solusi sementara, melainkan juga instrumen strategis dalam membangun ketahanan dan mobilitas ekonomi tenaga kerja.
"Kami ingin memastikan bahwa setiap pekerja merasa memiliki dukungan saat menghadapi perubahan. Sistem perlindungan sosial harus tersedia bagi semua, tidak terbatas hanya pada mereka yang sudah bekerja di sektor formal," imbuh Immanuel.
Dari sudut pandang pelaku usaha, upaya percepatan formalisasi juga diwujudkan melalui penyederhanaan prosedur legalisasi usaha. Platform Online Single Submission (OSS) kini memungkinkan UMKM untuk mendaftarkan usaha mereka secara digital tanpa terhambat oleh birokrasi yang rumit. Hal ini menjadi gerbang penting bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk memasuki ekosistem formal dan memperoleh perlindungan hukum.
"Formalisasi bukan sekadar persoalan perizinan, melainkan juga jaminan kepastian hukum, akses terhadap pembiayaan, dan keberlanjutan usaha," jelas Immanuel.
Sebagai penutup, Immanuel menekankan bahwa kesempatan kerja harus terbuka bagi semua kalangan, termasuk perempuan, generasi muda, penyandang disabilitas, dan kelompok lansia. Pemerintah bertekad untuk memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang, dapat memperoleh akses terhadap pekerjaan yang layak, terlindungi, dan produktif.
"Jika kita berbicara tentang pekerjaan yang layak, maka pekerjaan tersebut harus layak untuk semua, tanpa terkecuali. Kita tengah membangun sistem ketenagakerjaan yang inklusif dan adil," tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemnaker, Eva Trisiana, menambahkan bahwa pemerintah juga terus memperkuat sinergi dengan mitra internasional, termasuk Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Indonesia memberikan apresiasi terhadap program-program ILO seperti PROMISE II IMPACT dan inisiatif _digital wage_ (upah digital) yang dinilai mendukung terciptanya transparansi dan efisiensi dalam sistem ketenagakerjaan.
"Kami sangat terbuka untuk belajar dari pengalaman negara lain dan berbagi praktik baik yang telah kami terapkan. Kolaborasi global adalah kunci untuk memastikan bahwa pekerjaan yang layak dapat dirasakan oleh semua orang, di mana pun mereka berada," pungkas Eva.