JAKARTA, Liputanku – Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja menjadi sebuah harapan baru bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan.
Sebab, melalui SE tersebut, pemerintah menetapkan bahwa diskriminasi dalam rekrutmen tenaga kerja tidak diperbolehkan, contohnya dengan mensyaratkan usia tertentu dan penampilan menarik dalam setiap lowongan pekerjaan.
“Melalui inisiatif ini, kami berupaya memastikan bahwa dunia kerja di Indonesia menjadi lingkungan yang inklusif, kompetitif, dan menghargai setiap individu,” ujar Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dalam keterangan persnya, Kamis (29/5/2025).
Namun demikian, banyak kalangan yang berpendapat bahwa SE tersebut belum cukup kuat untuk secara efektif memberantas praktik diskriminasi di sektor tenaga kerja.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyu Askar, berpendapat bahwa status SE yang bukan merupakan regulasi mengikat menjadi kelemahan mendasar dalam implementasi kebijakan ini.
“Karena sifatnya hanya sebuah surat edaran, maka tidak bersifat regulasi yang mengikat secara hukum. Jadi betul, hal ini kemudian dikembalikan lagi pada kebijakan internal masing-masing perusahaan,” jelas Media kepada Liputanku, Jumat (30/5/2025).
Menurut Media, Indonesia membutuhkan integrasi aturan ini ke dalam regulasi yang bersifat wajib, seperti Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah (PP), atau bahkan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, agar lebih efektif dan memiliki kekuatan hukum yang jelas.
Ia berpendapat bahwa Indonesia dapat belajar dari negara-negara lain dalam mengatasi diskriminasi berbasis usia.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat dan Uni Eropa, regulasi terkait kesempatan kerja yang setara telah lama diterapkan dan memungkinkan pekerja untuk melaporkan praktik diskriminatif, termasuk batasan usia kerja tanpa alasan yang logis.
“Lowongan kerja yang menetapkan batasan usia tertentu tanpa justifikasi yang jelas dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif. Jika hal ini dapat diatasi, kita tetap dapat menyerap para pengangguran yang memiliki pengalaman kerja,” kata Media.
“Sistem semacam ini belum diterapkan di Indonesia. Padahal, hal ini penting agar kita dapat mengidentifikasi sektor-sektor mana saja yang rentan terhadap diskriminasi dan menemukan solusi yang tepat,” tambahnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Mirah Sumirat juga menekankan pentingnya pemberian sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi perintah untuk menghapus diskriminasi dalam proses rekrutmen tenaga kerja.
Oleh karena itu, Mirah beranggapan bahwa SE Menaker berpotensi diabaikan oleh perusahaan.
“Sayangnya, SE tersebut tidak disertai dengan sanksi. Inilah yang menjadi perhatian kami, seharusnya ada sanksi. Maksud saya, bagaimana pemerintah memberikan pembinaan kepada perusahaan agar mematuhi surat edaran tersebut,” kata Mirah, seperti dikutip dari Kompas TV.
Padahal, saat ini banyak pekerja yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena adanya batasan usia.
“PHK massal terjadi di mana-mana, dan yang terkena PHK umumnya berusia 30-40 tahun, usia-usia produktif. Mereka kesulitan mencari pekerjaan baru karena adanya pembatasan usia,” ungkapnya.
"Lip Service"
Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan, berpendapat bahwa pemerintah perlu melakukan lebih dari sekadar menerbitkan SE jika benar-benar ingin memberantas diskriminasi terhadap pekerja secara serius.
Menurut Aznil, surat edaran terkait antidiskriminasi terhadap tenaga kerja juga tidak memiliki kekuatan hukum yang memadai atau mengikat.
“Tindakan seperti itu tidaklah cukup. Surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum. Jika pemerintah serius, kementerian tenaga kerja serius, seharusnya berani mengeluarkan keputusan menteri (Kepmen),” tegas Aznil saat dihubungi, Jumat (30/5/2025).
Sebab, menurutnya, surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan dan tidak memiliki sanksi karena tidak mempunyai kekuatan hukum.
Meskipun demikian, ia tetap mengapresiasi niat baik pemerintah yang telah menerbitkan edaran tersebut.
“Namun, tidak cukup hanya sekadar surat edaran, imbauan tidak memiliki kekuatan hukum. Diperlukan gerakan yang komprehensif dan holistik, bukan sekadar lip service,” ujarnya.
Bahkan, Aznil mengusulkan agar poin-poin antidiskriminasi tersebut dapat diatur dalam undang-undang.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer juga mengakui bahwa SE tersebut masih lemah dan perlu diperkuat, salah satu opsinya adalah menjadikannya peraturan menteri (Permen).
Ia menjelaskan bahwa SE ini sejak awal diniatkan sebagai langkah awal menuju peraturan yang lebih kuat.
“Penerbitan Permen memerlukan harmonisasi. Untuk menerbitkan Permen, perlu didahului dengan SE. SE ini merupakan upaya perlindungan bagi para pencari kerja,” kata Noel, sapaan akrabnya.
Bahkan, Kemenaker tidak menutup kemungkinan ide yang terdapat dalam SE antidiskriminasi loker ini akan dimasukkan ke dalam Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sedang dibahas di parlemen.
“Jika ingin lebih tinggi lagi, ya dijadikan undang-undang,” kata Noel.
Usulan ini pun mendapat sambutan positif dari Komisi IX DPR yang membidangi masalah ketenagakerjaan.
Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago setuju agar SE tersebut ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri (Permen) agar kebijakan ini tidak hanya dianggap sebagai imbauan oleh pemberi kerja atau perusahaan.
“Surat edaran ini tentu sangat baik dan dapat menjadi solusi bagi para pencari kerja. Tidak boleh ada like dislike. Tetapi akan lebih baik jika Kemenaker membuat Peraturan Menteri (Permen) sebelum UU Ketenagakerjaan yang baru dibuat,” ujar Irma saat dihubungi Liputanku, Jumat.
Hal senada diungkapkan oleh Anggota Komisi IX dari Fraksi PKB, Zainul Munasichin yang berharap kebijakan antidiskriminasi dapat dimuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan.
“Saya setuju untuk dinaikkan levelnya. Nanti kita masukkan dalam revisi UU Ketenagakerjaan tahun ini,” kata Zainul.