PP 28/2024 Tembakau Resahkan Industri Rokok Nasional?

Admin

10/06/2025

2
Min Read

On This Post

“`html

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai Pengamanan Zat Adiktif Produk Tembakau telah memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri rokok. Aturan baru ini dipandang dapat mempengaruhi keberlangsungan bisnis mereka serta kesejahteraan tenaga kerja.

Menurut Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, peraturan ini berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dengan estimasi kerugian mencapai Rp 182,2 triliun. Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa sekitar 1,22 juta tenaga kerja di sektor terkait terancam kehilangan mata pencaharian mereka.

Henry Najoan berpendapat bahwa PP 28/2024 banyak mengadopsi kebijakan dari luar negeri tanpa mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan lokal. Beliau menyoroti beberapa pasal yang dianggap memberatkan para pengusaha, termasuk pembatasan kadar nikotin dan tar, larangan penggunaan bahan tambahan tertentu, serta aturan mengenai kemasan polos yang menghilangkan identitas merek.

"Hal ini akan menghilangkan keunikan kretek. Rokok yang menjadi ciri khas Indonesia berada dalam bahaya. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh industri, tetapi juga oleh para petani tembakau yang akan kesulitan menyesuaikan diri karena tembakau lokal umumnya memiliki kandungan nikotin yang tinggi," jelas Henry pada hari Senin (2/6/2025).

Beliau juga memperingatkan bahwa penerapan kemasan polos dapat mempercepat peralihan konsumen ke rokok ilegal hingga 2-3 kali lipat dan menurunkan permintaan terhadap produk legal hingga 42,09%. Oleh karena itu, GAPPRI mendesak agar langkah-langkah deregulasi segera diambil untuk menciptakan iklim usaha yang adil.

Kritik terhadap PP ini tidak hanya datang dari kalangan industri, tetapi juga dari akademisi. Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, berpendapat bahwa PP 28/2024 terlalu tunduk pada tekanan global, terutama dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

"Meskipun FCTC belum diratifikasi oleh Indonesia, pengaruhnya telah masuk secara halus melalui peraturan seperti PP ini. Ini bisa menjadi indikasi adanya intervensi asing," tegas Prof. Hikmahanto.

Beliau mencontohkan bagaimana Amerika Serikat bersikap selektif dalam menerima konvensi internasional. Menurutnya, Indonesia harus mengutamakan kepentingan nasional di atas tekanan internasional, termasuk dalam melindungi keberadaan industri hasil tembakau yang telah menjadi bagian integral dari budaya dan ekonomi Indonesia.

“`