Data Kemiskinan BPS Tak Relevan, Bansos Salah Sasaran?

Admin

23/06/2025

4
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Data terkait kemiskinan yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai kurang relevan dengan kenyataan di lapangan.

Ketidakrelevanan data ini berpotensi menyebabkan masyarakat miskin tidak menerima bantuan sosial (bansos) yang seharusnya menjadi hak mereka.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menjelaskan bahwa indikator pengukuran garis kemiskinan oleh BPS belum mengalami pembaruan sejak tahun 1976.

Hal ini berbeda dengan lembaga internasional seperti Bank Dunia (World Bank), yang secara berkala menyesuaikan indikator kemiskinan berdasarkan paritas daya beli (PPP) yang mencerminkan perubahan konsumsi dan biaya hidup masyarakat.

Sebagai informasi, Bank Dunia akan mengubah indikator garis kemiskinan dari PPP 2017 menjadi PPP 2021 mulai Juni 2025.

Perubahan ini diperkirakan akan berdampak signifikan pada peningkatan jumlah penduduk miskin secara global.

Oleh karena itu, Bhima mendesak BPS untuk segera melakukan penyesuaian indikator perhitungan garis kemiskinan nasional agar selaras dengan kondisi riil masyarakat Indonesia saat ini, yang telah mengalami banyak perubahan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir.

“BPS sebaiknya segera merevisi garis kemiskinan dengan melibatkan akademisi independen dan lembaga internasional,” ungkapnya kepada MasterV, Selasa (10/6/2025).

Menurutnya, perubahan ini sangat penting dilakukan oleh BPS karena data yang dirilis menjadi landasan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan, terutama karena pengentasan kemiskinan merupakan salah satu agenda prioritas pemerintah.

“Kekhawatiran muncul bahwa jumlah orang miskin yang tidak terdata dengan akurat dapat mengakibatkan bantuan sosial tidak menjangkau penduduk yang sebenarnya memenuhi kriteria miskin,” tuturnya.

Wijayanto Samirin, seorang ekonom dari Universitas Paramadina, juga menyampaikan kekhawatiran yang serupa.

Menurutnya, standar garis kemiskinan yang diterapkan oleh BPS terlalu rendah, sehingga kurang mencerminkan realitas yang ada.

Bahkan, standar kemiskinan yang kurang tepat ini dapat berisiko membuat pemerintah terlena dalam upaya menurunkan rasio kemiskinan, karena merasa bahwa angka kemiskinan sudah rendah, padahal kenyataannya tidak demikian.

“Patokan yang terlalu rendah ini membuat kita merasa cukup dan tidak berupaya secara maksimal memberantas kemiskinan. Cukup dengan memberikan sedikit bansos, puluhan juta orang seolah-olah terangkat ke atas garis kemiskinan tersebut,” jelasnya kepada Liputanku.

Namun demikian, jika hanya mengacu pada data Bank Dunia, Wijayanto berpendapat bahwa standar kemiskinannya terlalu tinggi untuk Indonesia yang baru saja naik kelas menjadi negara berpenghasilan menengah atas.

Sebab, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia yang mencapai 4.960 dollar AS pada tahun 2024 lebih mendekati batas bawah negara berpenghasilan menengah atas menurut Bank Dunia, yang memiliki kisaran PDB antara 4.500 hingga 14.000 dollar AS per kapita.

“Meskipun demikian, dunia internasional akan tetap mengacu pada data Bank Dunia, sehingga kita juga harus menjadikannya sebagai acuan penting,” tegas Wijayanto.

KOMPAS/AGUS SUSANTO Ilustrasi kemiskinan.Oleh karena itu, ia mendorong BPS untuk segera memperbarui metode penghitungan garis kemiskinan yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, agar program-program pemerintah dalam upaya mengurangi kemiskinan, seperti pemberian bansos dan subsidi, dapat tepat sasaran.

“Menurut saya, ini perlu dilakukan secepatnya, jangan sampai data BPS dianggap tidak relevan, bahkan menyesatkan. Selain itu, data yang akurat akan membantu meningkatkan efektivitas program pengentasan kemiskinan; dan ini yang paling krusial,” pungkasnya.

Sebagai informasi tambahan, data resmi dari BPS menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia per September 2024 mencapai 8,57 persen dari total penduduk, atau sekitar 24,06 juta jiwa.

BPS mengukur kemiskinan di Indonesia menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN), bukan menggunakan PPP seperti yang dilakukan oleh Bank Dunia.

Jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini kemudian dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan tersebut dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun non-makanan.

Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat sebesar Rp 595.242 per bulan.

Data ini menunjukkan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan data dari Bank Dunia.

Menurut laporan Bank Dunia pada April 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 60,3 persen dari total penduduk.

Kemudian, akibat perubahan indikator PPP dari 2017 ke 2021 per Juni 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan dari 60,3 persen menjadi 68,25 persen pada tahun 2024.

Dengan adanya perubahan ini, formula pendapatan penduduk dalam PPP yang menjadi acuan Bank Dunia berubah dari 6,85 dollar AS per kapita menjadi 8,30 dollar AS per kapita.