Bata Ringan Retak? Analisis Faktor & Cara Mencegahnya

Admin

19/06/2025

5
Min Read

On This Post

Salah satu hal yang seringkali menjadi pertanyaan adalah, benarkah bata ringan lebih mudah mengalami retak dibandingkan dengan material dinding konvensional seperti batu bata merah?

Sebagai informasi, bata ringan merupakan material dinding yang memiliki pori-pori. Material ini dibuat dari campuran yang terdiri dari semen, kapur, pasir silika, gipsum, air, serta bahan pengembang (biasanya berupa pasta aluminium). Bahan pengembang inilah yang kemudian membentuk gelembung udara melalui proses yang disebut autoklaf, yaitu pemanasan dengan tekanan tinggi.

Bata ringan sering menjadi pilihan utama dalam pembangunan perumahan subsidi (dengan harga berkisar antara Rp 136 juta hingga Rp 185 juta) karena menawarkan efisiensi baik dari segi biaya maupun waktu pengerjaan.

Lantas, Apakah Bata Ringan Mudah Retak?

Guna menjawab pertanyaan ini secara komprehensif, kita perlu melakukan analisis mendalam terhadap sifat mekanis yang dimiliki bata ringan, mengidentifikasi faktor-faktor utama yang menjadi penyebab retakan, serta membandingkannya dengan material lain seperti batu bata merah. Analisis ini akan didasarkan pada parameter saintifik yang relevan, seperti kuat tekan, kuat tarik, dan perilaku material secara keseluruhan.

1. Sifat Mekanis Bata Ringan

Perlu diketahui, bata ringan memiliki kuat tekan yang berkisar antara 3 hingga 5 MPa. Angka ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan batu bata merah yang memiliki kuat tekan antara 5 hingga 15 MPa.

Menurut publikasi dari Journal of Construction and Building Materials (tahun 2023), perbedaan ini disebabkan oleh struktur berpori pada bata ringan. Struktur ini mengandung gelembung udara yang mencapai 60–70 persen dari total volume material, sehingga membuatnya kurang mampu menahan beban tekan yang berat.

Selain itu, kuat tarik bata ringan juga tergolong sangat rendah, yaitu hanya sekitar 0.3–0.5 MPa. Hal ini menyebabkan bata ringan menjadi lebih rentan terhadap retak apabila mengalami tegangan tarik, misalnya akibat adanya pergerakan struktur bangunan atau tekanan eksternal dari luar.

Bata ringan memiliki modulus elastisitas yang lebih rendah (1.500–2.000 MPa) dibandingkan dengan bata merah (5.000–10.000 MPa). Ini mengindikasikan bahwa bata ringan lebih fleksibel, namun juga lebih mudah mengalami deformasi atau perubahan bentuk ketika diberikan tekanan.

Struktur berpori pada bata ringan juga meningkatkan risiko terjadinya retakan mikro, terutama jika material tersebut terpapar pada kondisi kelembapan yang ekstrem atau perubahan suhu yang signifikan. Air yang terserap ke dalam pori-pori dapat menyebabkan ekspansi atau kontraksi material, yang pada akhirnya dapat memicu retakan.

Dapat disimpulkan bahwa bata ringan memang memiliki kecenderungan lebih besar untuk retak dibandingkan dengan bata merah, terutama karena kuat tekan dan kuat tariknya yang lebih rendah, serta struktur berporinya. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa retakan tidak terjadi secara otomatis dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.

2. Faktor Penyebab Retakan pada Bata Ringan

Berdasarkan studi yang dilakukan dalam bidang teknik sipil dan informasi dari laman Asosiasi Konstruksi Indonesia, terdapat beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya retakan pada dinding yang terbuat dari bata ringan.

Salah satunya adalah penggunaan perekat yang tidak sesuai dengan spesifikasi. Bata ringan memerlukan perekat mortar tipis (dengan ketebalan 2–3 mm) yang memiliki campuran khusus, biasanya berupa semen instan.

Penggunaan adukan semen-pasir yang tebal (seperti yang umum digunakan pada pemasangan bata merah) justru dapat menyebabkan ketidakstabilan pada dinding dan memicu timbulnya retakan.

Pemasangan bata ringan yang tidak rata atau dilakukan tanpa menggunakan benang acuan juga dapat mengakibatkan distribusi beban yang tidak merata, yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya retak rambut pada dinding.

Kurangnya penguatan pada struktur dinding, misalnya dengan tidak menggunakan *joint reinforcement* atau angkur pada sambungan antara dinding dan kolom, juga dapat meningkatkan risiko terjadinya retakan.

Selain itu, pergerakan struktur bangunan juga dapat menjadi penyebab retakan. Kolom dan balok beton bertulang cenderung mengalami penyusutan seiring berjalannya waktu (sekitar 0.1–0.3 persen dalam 28 hari), sementara bata ringan memiliki koefisien penyusutan yang lebih tinggi (0.02–0.05 mm/m). Perbedaan ini dapat menyebabkan timbulnya tegangan tarik yang pada akhirnya memicu retakan.

Di daerah-daerah yang rawan gempa, seperti Manado atau Yogyakarta, getaran yang ditimbulkan oleh gempa bumi dapat menyebabkan retakan pada dinding jika dinding tersebut tidak diperkuat dengan sloof, kolom praktis, atau ring balok yang memadai.

Fondasi bangunan yang tidak stabil atau tidak merata (misalnya akibat kondisi tanah yang labil) juga dapat menyebabkan dinding bergeser dan mengalami retakan.

Tidak hanya itu, faktor lingkungan juga turut berperan dalam menyebabkan retakan pada dinding bata ringan. Bata ringan memiliki kemampuan untuk menyerap air (dengan porositas sekitar 40–50 persen), meskipun pori-porinya cenderung tertutup.

Paparan air hujan secara terus-menerus tanpa adanya lapisan pelindung seperti aci (plester) atau cat tahan air dapat menyebabkan timbulnya retakan mikro akibat proses ekspansi dan kontraksi material.

Di daerah dengan iklim panas seperti Samarinda, Balikpapan, Pontianak, dan Palangkaraya, perubahan suhu yang ekstrem (berkisar antara 20–40°C) dapat menyebabkan ekspansi termal pada bata ringan. Kondisi ini dapat memicu terjadinya retakan jika sambungan dilatasi pada dinding tidak dibuat dengan memadai.

Pemasangan instalasi seperti pipa air atau AC yang melibatkan pengeboran dinding bata ringan tanpa menggunakan teknik khusus (misalnya dengan menggunakan angkur plastik) juga dapat melemahkan struktur dinding dan menyebabkan timbulnya retakan.

Pemberian beban tambahan pada dinding, misalnya dengan memasang rak dinding yang berat, juga dapat meningkatkan risiko terjadinya retakan.

Sebagai kesimpulan, bata ringan tidak secara inheren mudah retak. Namun, material ini menjadi lebih rentan terhadap retakan jika proses pemasangannya tidak sesuai dengan standar yang berlaku, struktur dinding kurang diperkuat, atau terpapar pada kondisi lingkungan yang ekstrem.