Batas Usia Loker Dihapus: Tekan Pengangguran? Ini Kata Ahli!

Admin

04/06/2025

2
Min Read

On This Post

Penghapusan batasan usia dalam persyaratan lowongan kerja (loker) telah diresmikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025 mengenai Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja.

Aturan tersebut melarang adanya syarat diskriminatif dalam iklan lowongan kerja, seperti batasan usia pelamar, tuntutan penampilan menarik, hingga status pernikahan. Kebijakan ini menimbulkan beragam tanggapan, baik dari kalangan ekonom maupun pelaku usaha.

Menurut ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, aturan ini berpotensi menambah beban bagi dunia usaha. Alasannya, batasan usia umumnya digunakan sebagai tahap awal penyaringan kandidat. Beliau juga berpendapat bahwa regulasi ini tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan jumlah lapangan kerja.

“Dampak kebijakan ini netral terhadap penciptaan lapangan kerja, namun berpotensi menambah kerepotan bagi dunia usaha,” ujar Wijayanto kepada detikcom, Rabu (28/5/2025).

Wijayanto menambahkan bahwa hanya segelintir negara di dunia yang mempertimbangkan faktor usia dalam proses rekrutmen. Pemahaman inklusivitas dalam lowongan kerja umumnya mencakup aspek-aspek seperti penampilan fisik, gender, ras, suku, dan agama.

Pandangan berbeda disampaikan oleh Direktur Ekonomi Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda. Beliau meyakini bahwa regulasi ini berpotensi menyerap tenaga kerja, terutama dengan membuka peluang bagi para pelamar yang berusia antara 30 hingga 40 tahun.

“Dengan semakin banyaknya terjadi PHK, jumlah pengangguran di usia dewasa akan cenderung meningkat. Penghapusan batasan usia ini dapat dianggap sebagai kesempatan bagi mereka yang kehilangan pekerjaan di usia dewasa (30-40 tahun), bahkan di atas 40 tahun,” jelas Huda kepada detikcom.

Huda juga berpendapat bahwa batasan usia merupakan syarat yang diskriminatif. Terlebih lagi, di tengah maraknya fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Individu yang terkena PHK di usia 30-40 tahun akan semakin kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru. Padahal, kebutuhan hidup mereka semakin meningkat seiring dengan berkeluarga. Usia tersebut juga masih tergolong produktif untuk bekerja. Akibatnya, para korban PHK di usia yang tidak lagi muda terpaksa beralih ke sektor informal yang kurang menjamin kesejahteraan,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Bob Azam, berpendapat bahwa persyaratan kerja idealnya menjadi wewenang perusahaan, bukan pemerintah. Hal ini dikarenakan setiap perusahaan memiliki spesifikasi tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan operasional mereka.

“Sebaiknya, persyaratan kerja ditentukan oleh perusahaan penerima, bukan oleh pemerintah, terutama yang berkaitan dengan spesifikasi pekerjaan,” kata Bob kepada detikcom.

Namun demikian, Bob tidak menampik bahwa regulasi ini bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam dunia kerja. Hanya saja, menurutnya, penentuan spesifikasi kerja seharusnya menjadi hak prerogatif perusahaan.