Job Fair Bekasi Ricuh: Beda Kata Kemnaker & Pengamat!

Admin

05/06/2025

3
Min Read

JAKARTA, MasterV – Sebuah peristiwa kurang menyenangkan mewarnai pelaksanaan bursa kerja atau job fair yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi di Gedung Convention Center Presiden University, Jababeka, Cikarang Utara, pada hari Selasa (27/5/2025). Kericuhan tak terhindarkan.

Dalam kejadian tersebut, aksi saling dorong hingga adu fisik terjadi di antara para pencari kerja yang berusaha mendapatkan kode quick response (QR). Bahkan, beberapa peserta dilaporkan jatuh pingsan akibat desakan massa yang panik saat kericuhan berlangsung.

Terhitung sekitar 25.000 pencari kerja membanjiri Gedung Convention Center Presiden University. Mereka berlomba-lomba mendapatkan 2.517 lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh 64 perusahaan yang turut serta dalam job fair Bekasi tersebut.

Berkaitan dengan insiden ini, perbedaan pendapat muncul antara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan seorang pengamat ketenagakerjaan mengenai akar permasalahan dari kericuhan tersebut.

Bukan Semata-mata karena Minimnya Lowongan

Kemnaker menampik anggapan bahwa sedikitnya lowongan pekerjaan menjadi penyebab utama kericuhan di job fair Bekasi.

Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemenaker, Anwar Sanusi, menyatakan bahwa membeludaknya pelamar kerja hingga memicu kericuhan lebih disebabkan oleh ketidaksiapan manajemen pelaksana dalam mengelola acara.

“Begini ya, sebenarnya kesimpulan bahwa penyebabnya adalah kurangnya lowongan pekerjaan itu kurang tepat. Konstruksi berpikirnya keliru,” tegas Anwar saat dihubungi MasterV, Kamis (29/5/2025).

Menurut Anwar, antusiasme puluhan ribu pelamar di job fair Bekasi yang berujung ricuh seharusnya dilihat dari sudut pandang kesiapan pelaksanaan, termasuk ketersediaan tempat yang memadai untuk menampung jumlah peserta yang hadir.

Anwar mengakui bahwa gedung yang dipilih oleh Pemkab Bekasi untuk menyelenggarakan job fair tersebut tidak mampu menampung seluruh pelamar yang datang.

“Kami melihatnya begini, pertama dari sisi jumlah peserta yang mencapai puluhan ribu, lebih dari 20.000. Kemudian, kapasitas gedung atau tempatnya, serta waktu pelaksanaan, itu semua tidak memadai,” jelas Anwar.

“Ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Gedung yang digunakan adalah hall, ruang tertutup dengan jumlah pintu yang terbatas,” tambahnya.

Ia menekankan bahwa penyelenggaraan job fair idealnya dilakukan dengan koordinasi bersama Kementerian Ketenagakerjaan, khususnya melalui Unit Pasar Kerja.

Unit tersebut memiliki peran penting dalam mengoordinasikan pelaksanaan job fair yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten, maupun mitra lainnya.

“Ini menjadi pengalaman berharga bagi penyelenggara job fair agar dapat melaksanakan acara serupa dengan lebih baik di masa mendatang,” ujarnya.

“Akan berbeda jika kita melakukannya di lapangan terbuka, dengan tenda dan banyak pintu masuk serta keluar, sehingga arus lalu lintas pengunjung dapat dikelola dengan baik,” lanjut Anwar.

Kebutuhan Akan Pekerjaan Sangat Tinggi

Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan Tadjuddin Noer Effendi berpendapat bahwa kericuhan dalam job fair Bekasi merupakan indikasi tingginya kebutuhan masyarakat akan pekerjaan.

“Itu indikasi bahwa masyarakat kita sangat membutuhkan peluang kerja. Angka pengangguran kita pun meningkat, menurut data BPS (Badan Pusat Statistik),” ungkap Tadjuddin saat dikonfirmasi, Kamis.

Ia menilai bahwa pemerintah belum cukup tanggap dalam menciptakan lapangan kerja. Akibatnya, setiap kali bursa kerja diselenggarakan, selalu dipadati oleh para pencari kerja.

“Pemerintah agak lambat dalam menciptakan peluang kerja. Ketika bursa kerja dibuka di suatu daerah, pasti akan diserbu,” kata Tadjuddin.

Ia juga memperkirakan bahwa lonjakan peserta akan terus terjadi di mana pun bursa kerja diselenggarakan.

Hal ini disebabkan oleh masuknya jutaan orang ke pasar kerja setiap tahun, ditambah dengan terus terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Di mana saja itu bisa terjadi, karena ini merupakan fenomena yang meluas, apalagi PHK terus meningkat. Setiap tahun, angkatan kerja yang siap masuk ke pasar kerja mencapai sekitar 3 juta hingga 3,5 juta orang,” jelas Tadjuddin.

Sebagai solusi, Tadjuddin menyarankan agar pemerintah daerah mulai memanfaatkan platform digital untuk menyelenggarakan bursa kerja secara daring.