JAKARTA, MasterV – Badan Gizi Nasional (BGN) mengumumkan bahwa selama pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang telah berjalan sejak awal Januari 2025, hampir tidak ada kasus intoleransi laktosa yang terdeteksi.
Informasi penting ini disampaikan oleh Tim Pakar Bidang Susu BGN, yang juga merupakan Guru Besar di IPB, Bapak Epi Taufik, seperti yang dikutip dari YouTube Liputanku Episode 2 dengan tajuk “Susu Kunci Gizi Anak Indonesia?”, pada hari Senin, 9 Juni 2025.
“Berdasarkan pengalaman yang kami peroleh sejak 6 Januari, termasuk dalam proyek percontohan pertama di Warungkiara, Sukabumi, kami tidak menemukan adanya kejadian intoleransi laktosa,” tegas Bapak Epi.
Beliau menjelaskan bahwa, seandainya ditemukan gejala ringan, kondisi tersebut biasanya bersifat sementara dan dapat diatasi dengan membiasakan tubuh secara bertahap untuk kembali mengonsumsi susu.
“Mungkin hanya terjadi pada satu atau dua orang, dan itupun dapat diatasi dengan membiasakan diri, sehingga tubuh akan kembali memproduksi enzim laktase. Ini bukanlah sebuah penyakit, melainkan hanya ketidakmampuan sementara dalam mencerna laktosa,” jelasnya lebih lanjut.
Bapak Epi juga menyoroti bahwa laktosa sebenarnya sudah diperkenalkan kepada manusia sejak lahir melalui ASI, yang bahkan memiliki kadar laktosa mencapai 7 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi yang rata-rata hanya 5 persen.
“Ini berarti, secara alami, tubuh manusia sudah memiliki kemampuan untuk mencerna laktosa sejak lahir. Permasalahan baru muncul ketika seseorang tidak terbiasa mengonsumsi susu setelah dewasa,” ungkapnya.
Beliau merujuk pada data dari RSCM yang menunjukkan bahwa sebagian besar kasus intoleransi laktosa terjadi pada rentang usia 20–50 tahun, terutama pada individu yang tidak terbiasa mengonsumsi produk susu (non-dairy consumer).
Bapak Epi juga menekankan bahwa intoleransi laktosa bukanlah sebuah penyakit, melainkan sebuah kondisi di mana tubuh kehilangan enzim laktase akibat kurangnya konsumsi produk susu.
Beliau merinci bahwa intoleransi laktosa dapat dikategorikan menjadi tiga jenis: primer (disebabkan oleh penghentian konsumsi susu), sekunder (akibat infeksi atau penyakit lain), dan kongenital (kelainan genetik langka yang menyebabkan tubuh tidak memproduksi enzim laktase sama sekali).
“Selama tubuh dibiasakan kembali secara bertahap, produksi enzim laktase dapat kembali aktif, kecuali pada kondisi kongenital yang memang bersifat permanen,” pungkasnya.