Biaya Mobil Dinas Pejabat dan Uang Makan Menteri di Tengah Efisiensi Negara: Memicu Reaksi Kritis
Kebijakan pemerintah terkait alokasi dana untuk mobil dinas pejabat, termasuk anggaran makan menteri saat rapat, kini menjadi sorotan tajam. Hal ini bukan tanpa alasan; publik mempertanyakan kebijakan tersebut karena dinilai kurang selaras dengan upaya efisiensi anggaran yang tengah digalakkan oleh Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Terkait pengadaan mobil dinas untuk pejabat Eselon I, negara mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp 52,7 juta, meningkat dari Rp 878.913.000 menjadi Rp 931.648.000 pada tahun 2026. Sementara itu, biaya konsumsi rapat setingkat Menteri hingga Eselon I ditetapkan sebesar Rp 171 ribu.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, menyatakan bahwa wajar jika masyarakat pada akhirnya mempertanyakan kebijakan ini. Menurut Wahyudi, optimalisasi efisiensi anggaran belum sepenuhnya diterapkan di kalangan pejabat tinggi.
Pada tahun ini, pemerintah telah meniadakan uang saku untuk rapat halfday atau rapat minimal 5 jam tanpa menginap bagi PNS. Lebih lanjut, mulai tahun 2026, uang saku untuk rapat fullday atau rapat minimal 8 jam juga akan dihapuskan.
“Kenaikan anggaran untuk kendaraan dinas, di saat uang saku rapat halfday dan fullday bagi PNS dihapuskan, tentu akan menimbulkan pertanyaan di benak publik,” ungkapnya saat dihubungi oleh detikcom, Sabtu (7/6/2025).
“Efisiensi seharusnya menyasar pos keuangan yang kurang produktif atau berlebihan secara proporsional, bukan hanya penghematan di level staf. Sementara, belanja untuk pejabat tinggi masih tetap besar,” imbuh Wahyudi.
Menurut Wahyudi, terdapat inkonsistensi dalam penerapan program efisiensi. Contoh lain yang mencuat adalah rekrutmen tenaga ahli oleh pejabat publik dengan fasilitas yang hampir setara dengan menteri.
“Anggaran yang dialokasikan untuk hal tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan efisiensi yang didapatkan dari penghapusan uang saku rapat PNS. Kebijakan efisiensi ini terkesan hanya bersifat administratif,” jelas Wahyudi.
Wahyudi menekankan bahwa efisiensi memang patut didukung, terutama pada pos belanja pemerintah yang tidak efisien. Ia menyoroti praktik rapat di hotel mewah yang sebaiknya dikurangi atau bahkan dihilangkan.
Ia kemudian menyerukan audit menyeluruh terhadap belanja barang dan operasional, termasuk biaya kendaraan, renovasi gedung, dan perjalanan dinas, guna membuktikan efektivitas program efisiensi.
“Yang terpenting adalah transparansi data pengadaan dan biaya operasional. Selama ini, siapa saja yang menikmati fasilitas rapat di hotel-hotel, termasuk agen perjalanan luar negeri? Data ini perlu diaudit dan dibuka secara transparan serta akuntabel,” tegasnya.
Sementara itu, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Mohamad Fadhil Hasan, menilai bahwa desain dan implementasi program efisiensi anggaran masih belum jelas, sehingga menimbulkan kontradiksi dalam pelaksanaannya.
“Seharusnya dilakukan evaluasi mendalam terlebih dahulu untuk mengidentifikasi program dan kegiatan yang efektif serta memiliki dampak besar bagi perekonomian, serta mana yang kurang efektif dan efisien,” jelas Fadhil.
Ia juga menyarankan penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang harus dipedomani oleh Kementerian/Lembaga hingga pemerintah daerah, sehingga pendekatan yang diambil menjadi komprehensif dan tidak bersifat sektoral.