MasterV, Jakarta – Waktu menunjukkan hampir pukul 02.00 WAS, namun Umi Marzuqoh tetap memperlihatkan senyum cerahnya saat memasuki paviliun D3 di Terminal Haji Bandara Internasional King Abdulaziz Jeddah, Arab Saudi. Mengenakan seragam petugas haji lengkap, ia mendorong kopernya dan langsung berkoordinasi mengenai data jemaah BTH 26 yang dipimpinnya.
Perjalanan ini mencatatkan sejarah penting bagi dirinya dan Kalimantan Barat. Ia terpilih sebagai ketua kloter perempuan pertama dari Provinsi Kalimantan Barat setelah berhasil melewati seleksi petugas penyelenggara ibadah haji (PPIH) beberapa bulan lalu. Lebih dari itu, ini juga menjadi pengalaman berhaji pertamanya.
"Ini merupakan tanggung jawab besar, karena Bapak Kakanwil berulang kali menyampaikan bahwa ini adalah tantangan bagi kaum perempuan. Jika berhasil, peluang bagi perempuan untuk menjadi petugas, termasuk ketua kloter, akan semakin terbuka lebar," ujar Umi kepada MasterV yang merupakan bagian dari Liputanku Haji 2025, Sabtu (31/5/2025).
Segera setelah pengumuman kelulusannya, ia langsung menyusun strategi. Perempuan yang bertugas sebagai penanggung jawab pembinaan masyarakat (binmas) konghucu di Kanwil Kementerian Agama Kalimantan Barat ini membentuk grup Whatsapp untuk memfasilitasi komunikasi dengan sesama petugas dan rombongan jemaah haji yang akan dipimpinnya, bahkan sebelum keberangkatan.
"Untungnya, sekitar 90 persen anggota BTH 26 tergabung dalam KBIHU, sehingga sangat membantu saya," ungkapnya.
Umi menjadi salah satu dari empat petugas haji perempuan di kloter tersebut. Tiga petugas lainnya adalah tenaga kesehatan yang terdiri dari dua dokter dan seorang perawat. Secara keseluruhan, terdapat 10 petugas, dengan sisanya adalah laki-laki, termasuk pembimbing ibadah kloter.
Kloter tersebut menampung 445 jemaah haji yang semuanya berasal dari Pontianak. Mayoritas jemaah haji adalah perempuan, dengan jumlah sekitar 298 orang.
"Tantangannya cukup signifikan karena membutuhkan fisik yang prima untuk mengurus jemaah. Terlebih lagi, jumlah jemaah perempuan cukup banyak dan sebagian besar sudah berusia lanjut. Saya sangat terbantu dengan kehadiran tenaga medis yang masih muda, sehingga penanganan dapat dilakukan dengan cepat," jelas Umi.
Meskipun demikian, perjalanannya menuju Tanah Suci tidak sepenuhnya tanpa kendala. Umi mengungkapkan bahwa ada tiga jemaahnya yang mengalami penurunan kondisi kesehatan, salah satunya berusia 75 tahun.
"Karena sudah lanjut usia, tekanan darah dan saturasi oksigennya baik, tetapi nadinya sangat lemah. Saya sempat merasa khawatir," tuturnya. Namun, berkat penanganan cepat dari petugas medis di pesawat, kondisi ketiganya berangsur pulih, meskipun tetap dalam pengawasan ketat.
Umi juga menyampaikan bahwa sebagai ketua kloter, jemaah memiliki harapan yang tinggi terhadapnya. Ia diharapkan ‘maha tahu’ dalam segala hal yang berkaitan dengan haji dan perjalanannya. "Terkadang, jika ada pertanyaan yang belum saya ketahui jawabannya, saya akan meminta waktu untuk mencari informasi terlebih dahulu, kemudian menghubungi pihak lain untuk bertanya sebelum memberikan jawaban," ujarnya.
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan jemaah sebelum terbang ke Arab Saudi adalah mengenai kartu nusuk. Pemberitaan mengenai nusuk sebagai dokumen resmi untuk memasuki Makkah dan beribadah di kawasan Masjidil Haram, serta melaksanakan puncak haji di Armuzna, sangat gencar di dalam negeri.
"Setelah mendengar berita-berita tentang nusuk, mereka menjadi khawatir, bahkan ada yang bertanya apakah saya bisa berkoordinasi dengan KSA (Kerajaan Arab Saudi). ‘Lah, saya bagian apanya sampai harus ke KSA?’ Tidak ada hubungannya. Saya bilang begitu saja. Mereka sangat panik," katanya.
Hal lain yang sempat membuatnya cemas adalah salah satu jemaah yang menggunakan foto yang berbeda dalam dokumen pengurusan visanya. "Wallahu alam. Teman-teman sudah mengawal, tapi alhamdulillah sudah bisa diurus. Itu juga membuat saya merasa khawatir," tambahnya.
Umi mendaftar sebagai petugas haji 2025 melalui jalur seleksi. Ia sengaja memilih formasi petugas kloter karena itu adalah posisi yang paling sesuai dengan latar belakangnya.
"Saya mendaftar sebagai ketua kloter karena saya belum pernah berhaji. Kalau menjadi pembimbing ibadah, tidak bisa. Kalau nonkloter, saya rasa terlalu lama. Nanti terlalu lama meninggalkan anak," kata ibu tiga anak itu. "Kasihan anak saya, masih ada yang kelas 1 soalnya," imbuhnya.
Dengan menjadi petugas haji dalam kloter, ia akan mendampingi jemaah sejak keberangkatan hingga kepulangan. "42 hari termasuk perjalanan," ucap Umi mengenai masa tugasnya.
Jumlah jemaah perempuan pada tahun ini menunjukkan dominasi. Persentasenya mencapai lebih dari 55 persen, atau 118.836 orang dari 213.860 jemaah haji reguler.
Hal ini menjadi perhatian Amirul Hajj yang dipimpin oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar. Ia berencana untuk melibatkan lebih banyak ulama perempuan dalam pelayanan haji pada musim-musim haji mendatang, karena banyak aspek fikih haji yang berkaitan dengan perempuan lebih nyaman disampaikan oleh jemaah kepada ulama perempuan. Namun, jumlah ulama perempuan saat ini masih terbatas.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi, satu-satunya perempuan dalam rombongan Amirul Hajj, menambahkan bahwa pihaknya berupaya agar pelayanan haji menjadi lebih ramah perempuan di masa depan. Salah satu fokusnya adalah penambahan fasilitas sanitasi yang memadai bagi jemaah haji perempuan.