Buku: Pelarian Warga Jakarta dari Hiruk Pikuk Kota

Admin

16/06/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Di tengah arus informasi yang deras dan hiburan instan yang membanjiri melalui media sosial, sebagian warga Jakarta lebih memilih menyisihkan waktu untuk membaca buku. Bagi mereka, aktivitas ini menjadi sarana yang efektif untuk menenangkan pikiran serta memperkaya wawasan.

Ambil contoh Nurul Hidayati (26), seorang warga Kebayoran Baru. Ia baru saja membeli buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring.

Nurul mengungkapkan bahwa ia mencari bacaan yang dapat membantunya berpikir jernih di tengah kesibukan dan kebisingan kehidupan perkotaan. Apalagi, buku tersebut sempat menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan.

“Kehidupan zaman sekarang ini penuh dengan gangguan. Kadang-kadang, rasanya ingin berhenti sejenak dan merenung lebih dalam,” ujar Nurul kepada MasterV saat ditemui di Gramedia Jalma, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada hari Jumat (6/6/2025).

Awalnya, Nurul mengira bahwa filsafat adalah topik yang kompleks dan hanya diperuntukkan bagi para akademisi.

Namun, setelah menyelami Filosofi Teras, pandangannya berubah drastis. Ia sangat terkesan dengan prinsip Stoikisme, yang menekankan fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali diri sendiri.

“Buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, namun justru sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari,” katanya.

“Konsepnya sederhana, tetapi ketika saya membacanya, saya langsung tersadar bahwa selama ini saya sering merasa lelah karena mencemaskan hal-hal yang sebenarnya tidak dapat saya ubah,” imbuhnya.

Sementara itu, Arga (30), seorang desainer grafis, memilih novel-novel Jepang sebagai bentuk pelarian dari rutinitas yang menjemukan. Ia baru saja menamatkan novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami.

“Alur ceritanya surealis, namun tetap terasa dekat dengan realitas kehidupan,” jelas Arga.

Bagi Arga, pengalaman membaca novel tersebut menyerupai sebuah perjalanan menuju dunia yang unik, kelam, namun penuh emosi. Salah satu adegan yang paling membekas dalam benaknya adalah ketika karakter Kafka tinggal di perpustakaan.

“Adegan itu seperti simbol dari keterasingan. Saya pun terkadang merasakan hal yang sama, merasa sendirian di tengah keramaian,” tambahnya.

Arga secara rutin menyempatkan diri untuk membaca, baik pada malam hari maupun saat akhir pekan. Ia mengaku dapat menghabiskan waktu hingga dua jam untuk membaca.

Menurutnya, dibandingkan dengan menonton, membaca memberikan ruang yang lebih luas bagi imajinasi untuk berkembang.

“Saat membaca, saya turut serta membangun dunia di dalam pikiran saya sendiri,” ungkapnya.

Pendapat serupa juga diutarakan oleh Sinta (22), seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi yang belakangan ini tertarik dengan buku-buku bertema psikologi.

Salah satu buku yang baru saja ia tuntaskan adalah Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson.

“Buku tersebut mengajarkan saya untuk tidak terlalu memikirkan segala hal secara berlebihan. Terkadang, hidup itu hanyalah tentang memilih hal-hal mana saja yang penting untuk dipikirkan, dan sisanya ya diikhlaskan saja,” paparnya.

Sinta biasanya membaca selama satu jam setiap hari, terutama saat berada di transportasi umum. Ia merasa bahwa membaca memberikan pengalaman yang lebih mendalam dibandingkan hanya menggulir video pendek di ponsel.

“Ketika membaca buku, prosesnya memang lebih lambat, namun terasa lebih mendalam. Saya bisa melakukan refleksi dan berpikir lebih jauh,” tuturnya.