Cegah Konflik Kepentingan, ASN Wajib Lapor!

Admin

12/06/2025

3
Min Read

On This Post

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB) telah mengambil langkah penting dengan menerbitkan Peraturan Menteri PANRB No. 17/2024. Tujuannya? Tidak lain adalah mencegah konflik kepentingan (conflict of interest – CoI) yang mungkin terjadi di lingkungan pemerintahan. Menurut Menteri PANRB, Rini Widyantini, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada peran aktif seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam penerapannya.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Rini saat membuka Workshop Nasional Pencegahan Konflik Kepentingan di Sektor Publik di Jakarta, pada hari Selasa (3/6). Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Anti-Corruption Learning Centre (ACLC), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“ASN, sebagai agen perubahan, harus menunjukkan contoh kepatuhan etika. Ini termasuk mendorong pemahaman tentang CoI di unit kerja masing-masing, serta memiliki keberanian untuk melaporkan potensi benturan kepentingan yang terlihat. Integritas jabatan berawal dari kepemimpinan etis dan kesadaran individu,” demikian disampaikan Rini dalam keterangan tertulis, pada hari Rabu (4/6/2025).

Beliau menjelaskan bahwa konflik kepentingan seringkali menjadi pintu masuk menuju praktik korupsi. Konflik kepentingan berkembang dari karakter serta pilihan yang kita ambil setiap harinya. Oleh karena itu, Rini menekankan bahwa pencegahan konflik kepentingan bukan sekadar tentang aturan, tetapi tentang membentuk karakter birokrasi yang memiliki keberanian untuk bertindak adil, bahkan ketika tidak ada pengawasan.

Perlu diperhatikan bahwa ada banyak area yang rentan terhadap konflik kepentingan, mulai dari proses pengadaan, perizinan, hingga promosi jabatan. Kajian dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), UNODC, Transparency International, serta European Commission menunjukkan bahwa konflik kepentingan yang tidak ditangani dapat melemahkan netralitas, menghasilkan keputusan yang bias, serta merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Bahkan, meskipun tidak melanggar hukum secara langsung, konflik kepentingan dapat merusak integritas proses kebijakan dan pelayanan publik.

Secara lebih spesifik, survei dari Transparency International mengungkapkan bahwa lebih dari 60 persen kasus korupsi berawal dari konflik kepentingan. Hanya delapan negara OECD yang memiliki sistem verifikasi CoI yang aktif. Namun, hanya sedikit negara, termasuk Indonesia, yang telah memiliki sistem verifikasi dan pelaporan yang memadai.

Rini menambahkan bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah digital didorong tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi layanan, tetapi juga untuk memperkuat integritas pembangunan.

“Dengan sistem yang transparan dan terintegrasi, dari pengolahan data, pengadaan, perizinan, hingga pelayanan publik, kita membangun tata kelola yang meminimalkan ruang intervensi pribadi serta mengurangi potensi konflik kepentingan lintas program nasional,” tegas Rini.

Sementara itu, Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menjelaskan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yang bertujuan untuk menekan potensi CoI.

“Trisula pemberantasan korupsi KPK terdiri dari tiga komponen utama: pendidikan, pencegahan, dan penindakan,” jelasnya.

Pendidikan bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak usia dini. Pencegahan berfokus pada upaya mencegah terjadinya korupsi, dan penindakan dilakukan terhadap pelaku korupsi yang terbukti bersalah.

Budiyanto mencontohkan Peraturan Menteri PANRB No. 17/2024 sebagai salah satu upaya pencegahan CoI yang sangat penting untuk dipedomani oleh para ASN.

“Jika tidak dipelajari dengan seksama, kepentingan-kepentingan tertentu dapat terabaikan dan berpotensi menimbulkan korupsi,” pungkasnya.

Sebagai informasi tambahan, Peraturan Menteri PANRB No. 17/2024 juga mencakup berbagai mekanisme pencegahan CoI, termasuk identifikasi risiko, masa tunggu jabatan, hingga evaluasi dan sanksi. Peraturan ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi kementerian dan lembaga dalam membangun sistem pengelolaan CoI yang terukur dan berkelanjutan.