Kartu AS China dalam Negosiasi Tarif: Apa Strateginya?

Admin

21/06/2025

5
Min Read

On This Post

Babak baru dalam perundingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dimulai pada hari Senin (9/6) di London. Pengumuman mengenai rencana pertemuan ini muncul setelah percakapan telepon yang dinantikan antara Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping.

Pada bulan Mei 2025, kedua pihak sebelumnya sepakat untuk menangguhkan tarif selama 90 hari. Namun, langkah yang seharusnya positif ini justru mengungkap aspek lain: kontrol Tiongkok atas mineral langka dan akses mereka terhadap teknologi semikonduktor dari AS.

Ekspor mineral langka beserta magnet terkait dari Tiongkok diperkirakan akan menjadi fokus utama dalam pertemuan kedua negara di London. Akan tetapi, para analis berpendapat bahwa Tiongkok tidak mungkin melepaskan kendali strategisnya atas mineral langka yang sangat penting untuk berbagai jenis elektronik, kendaraan, dan sistem pertahanan.

“Penguasaan Tiongkok terhadap suplai mineral langka telah menjadi instrumen yang terukur namun efektif untuk pengaruh strategis. Tindakan yang menyerupai monopoli atas rantai pasokan mineral langka tersebut akan tetap menjadi kartu truf yang signifikan dalam perundingan perdagangan,” ungkap Robin Xing, Kepala Ekonom Tiongkok di Morgan Stanley, seperti dikutip dari CNN, Senin (9/6/2025) malam.

Sejak perundingan di Jenewa, Trump menuding Tiongkok menghalangi ekspor mineral langka, mengumumkan pembatasan tambahan pada chip, serta mengancam pencabutan visa AS bagi pelajar Tiongkok. Tindakan ini memicu respons keras dari Tiongkok, yang menganggap keputusan pemerintahan Trump sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan perdagangan. Semua perhatian tertuju pada kemampuan kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan di London mengenai isu-isu krusial ini.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, Menteri Perdagangan Howard Lutnick, dan Perwakilan Perdagangan AS, Jamieson Greer, akan berdiskusi dengan delegasi Tiongkok yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Tiongkok, He Lifeng.

Pada hari Sabtu (7/6) lalu, Tiongkok memberikan indikasi positif. Juru bicara Kementerian Perdagangan Tiongkok yang mengawasi pengendalian ekspor menyatakan bahwa mereka telah menyetujui sejumlah permohonan perdagangan yang sesuai.

“Tiongkok bersedia untuk lebih meningkatkan komunikasi dan dialog dengan negara-negara terkait mengenai pengendalian ekspor guna memfasilitasi perdagangan yang sesuai,” ujar juru bicara tersebut.

Kepala Dewan Ekonomi Nasional di Gedung Putih, Kevin Hassett, menyampaikan bahwa pihak AS akan berupaya memulihkan aliran mineral langka tersebut.

“Ekspor mineral penting tersebut telah dilepaskan pada tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya, namun belum mencapai tingkat yang kami yakini telah disepakati di Jenewa,” jelasnya.

Hassett menyatakan keyakinannya terhadap kesepakatan perdagangan yang dibuat setelah pembicaraan di Jenewa.

“Ini adalah titik kritis yang sangat signifikan, mengingat Tiongkok mengendalikan sekitar 90% logam mineral langka dan magnet, dan jika mereka memperlambat pengirimannya kepada kita karena beberapa perjanjian lisensi yang mereka buat, maka hal itu berpotensi mengganggu produksi bagi sejumlah perusahaan AS yang bergantung pada hal-hal tersebut,” kata Hassett seperti dilansir dari CNBC, ditulis Senin (9/6/2025).

“Dan ada cukup banyak perusahaan seperti itu, misalnya, perusahaan otomotif, sehingga Presiden Trump menanggapinya dengan sangat serius, menelepon Presiden Xi dan berkata, kita harus mengeluarkan barang-barang ini lebih cepat, dan Presiden Xi setuju,” imbuhnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Pada April 2025, seiring meningkatnya ketegangan perdagangan antara kedua negara, Tiongkok memberlakukan perizinan baru pada tujuh mineral langka dan beberapa elemen magnet, yang mengharuskan eksportir untuk mengajukan permohonan persetujuan untuk setiap pengiriman dan menyerahkan dokumentasi untuk memverifikasi tujuan penggunaan bahan-bahan ini.

Setelah gencatan senjata dagang yang dinegosiasikan di Jenewa, Trump berharap Tiongkok mencabut pembatasan pada mineral-mineral langka tersebut. Akan tetapi, CNN melaporkan bahwa lambatnya Tiongkok dalam memberikan persetujuan memicu kekecewaan mendalam di Gedung Putih.

Mineral langka terdiri dari 17 elemen yang lebih banyak ditemukan daripada emas dan dapat ditemukan di berbagai negara, termasuk AS. Namun, mineral langka ini dinilai sulit, mahal, dan mencemari lingkungan untuk diekstraksi dan diproses.

Tiongkok mengendalikan 90% pemrosesan mineral langka secara global. Para ahli berpendapat bahwa ada kemungkinan Tiongkok berupaya menggunakan pengaruhnya atas mineral langka untuk mendorong AS melonggarkan kontrol ekspornya sendiri yang bertujuan untuk menghalangi akses Tiongkok ke semikonduktor canggih AS dan teknologi terkait.

Kamar Dagang AS di Tiongkok menyatakan bahwa sejumlah pemasok Tiongkok untuk perusahaan-perusahaan AS telah menerima lisensi ekspor selama enam bulan. Reuters juga melaporkan bahwa pemasok produsen mobil besar AS seperti General Motors, Ford, dan pembuat Jeep Stellantis diberikan lisensi ekspor sementara untuk jangka waktu hingga enam bulan.

Ekonom Tiongkok dari Capital Economics, Leah Fahy, menyampaikan bahwa meskipun Tiongkok dapat mempercepat persetujuan lisensi untuk meredakan ketegangan diplomatik, akses global ke mineral langka Tiongkok kemungkinan lebih dibatasi dibandingkan sebelum April.

“Tiongkok menjadi lebih tegas dalam penggunaan kontrol ekspor sebagai alat untuk melindungi dan memperkuat posisi globalnya di sektor-sektor strategis, bahkan sebelum Trump menaikkan tarif Tiongkok tahun ini,” kata Fahy.

Kesulitan Ekonomi Tiongkok

Saat Tiongkok menghadapi perang tarif dengan AS secara langsung, tampak jelas bahwa hal itu terus memicu tantangan ekonomi di Tiongkok. Data perdagangan Tiongkok yang dirilis pada Senin (9/6) menggambarkan situasi yang kurang menggembirakan bagi ekonomi Tiongkok sebagai negara yang bergantung pada ekspor.

Menurut data yang dirilis oleh Administrasi Umum Bea Cukai Tiongkok, pengiriman ke luar negeri dari Tiongkok hanya meningkat 4,8% pada Mei 2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya secara keseluruhan.

Terjadi penurunan signifikan dari 8,1% yang tercatat pada April 2025, dan lebih rendah dari perkiraan pertumbuhan ekspor sebesar 5%. Ekspor Tiongkok ke AS mengalami penurunan tajam sebesar 34,5%. Penurunan bulanan yang tajam ini semakin parah dari penurunan 21% pada April 2025, yang terjadi meskipun perang dagang diumumkan pada tanggal 12 Mei yang menurunkan tarif AS atas barang-barang Tiongkok dari 145% menjadi 30%.

Namun, Juru Bicara Departemen Bea Cukai Tiongkok, Lü Daliang, memuji ketangguhan ekonomi Tiongkok, menyatakan bahwa perdagangan barang Tiongkok telah menunjukkan ketahanan dalam menghadapi tantangan eksternal.

Sementara itu, data dari National Bureau of Statistics (NBS) menunjukkan tekanan deflasi terus membayangi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut. Pada Mei 2025, Indeks Harga Konsumen (IHK) Tiongkok, yang menjadi indikator inflasi, turun 0,1% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.

Deflasi di tingkat pabrik, yang diukur dengan Indeks Harga Produsen (PPI), memburuk dengan penurunan 3,3% pada Mei 2025 dibandingkan tahun sebelumnya. NBS menyatakan bahwa penurunan bulan lalu menandakan kontraksi tahunan (year on year) paling parah dalam kurun waktu 22 bulan.