Negosiasi Tarif China-AS di London: Meredakan Perang Dagang?

Admin

21/06/2025

2
Min Read

On This Post

Para pejabat tinggi dari Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok telah memulai pertemuan di London untuk membahas negosiasi mengenai tarif perdagangan. Sebelumnya, kedua negara sempat terlibat dalam aksi saling balas dengan penerapan tarif tinggi terhadap barang-barang impor masing-masing.

Pertemuan ini diharapkan dapat meredakan tensi perang dagang yang meningkat setelah Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan penerapan tarif resiprokal yang signifikan pada bulan April lalu.

Dilansir dari Reuters, Senin (9/6/2025), para perwakilan dari dua negara adikuasa tersebut bertemu di Lancaster House. Agenda utama adalah meninjau kembali kemungkinan implementasi hasil dari Kesepakatan Jenewa, yang secara khusus mengatur penurunan tarif proteksi perdagangan.

Hadir dalam perundingan di London, antara lain, Menteri Keuangan AS Scott Bessent, Menteri Perdagangan Howard Lutnick, Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer, serta delegasi Tiongkok yang diketuai oleh Wakil Perdana Menteri He Lifeng.

Sebelumnya, setelah penandatanganan Kesepakatan Jenewa, AS menyampaikan tuduhan bahwa Tiongkok bergerak lambat dalam memenuhi komitmen yang telah disepakati. Salah satu poin yang menjadi sorotan AS adalah terkait dengan pengiriman tanah jarang dari Tiongkok yang belum terealisasi.

Penasihat ekonomi AS, Kevin Hassett, menegaskan bahwa Tim Negosiasi AS mengharapkan adanya komitmen yang jelas dari Tiongkok terkait dengan masalah tanah jarang ini.

"Tujuan dari pertemuan hari ini adalah untuk memastikan bahwa mereka (Tiongkok) benar-benar serius. Intinya, kami ingin mendapatkan kepastian dari mereka," ujar Hassett, yang menjabat sebagai Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS.

AS menginginkan adanya pelonggaran kontrol ekspor dan pelepasan logam tanah jarang dalam jumlah yang signifikan dari Tiongkok.

Di dalam negeri AS, perang dagang telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap tingkat kepercayaan bisnis dan rumah tangga. Bahkan, produk domestik bruto (PDB) pada kuartal I mengalami kontraksi akibat lonjakan impor yang mencapai rekor tertinggi, disebabkan oleh perilaku konsumen AS yang melakukan pembelian lebih awal untuk menghindari dampak kenaikan harga akibat tarif resiprokal yang diterapkan oleh Trump.