Deflasi Mei 2025: Harga Turun, Daya Beli Kok Lesu?

Admin

11/06/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Deflasi sebesar 0,37 persen yang terjadi pada Mei 2025 memberikan kesan positif karena harga-harga mengalami penurunan, terutama pada sektor pangan. Akan tetapi, sejumlah ekonom justru berpendapat bahwa fenomena ini mengindikasikan adanya kelemahan pada daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih setelah periode Lebaran.

Penurunan harga yang terjadi pada bulan Mei lalu sebagian besar disebabkan oleh panen raya yang meningkatkan ketersediaan pasokan bahan pangan. Komoditas seperti cabai merah, cabai rawit, serta bawang merah mengalami penurunan harga yang cukup signifikan.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), komponen harga pangan yang bergejolak atau "volatile food" mengalami deflasi sebesar 2,48 persen dan memberikan kontribusi terbesar terhadap terjadinya deflasi pada bulan Mei.

Namun, di balik penurunan harga tersebut, para ekonom justru menangkap adanya sinyal peringatan dari sisi permintaan. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyatakan bahwa deflasi kali ini bukan hanya sekadar dampak dari panen, melainkan juga mencerminkan lemahnya daya beli di kalangan masyarakat.

“Bahkan untuk kebutuhan mendasar seperti ikan dan ayam, harga juga mengalami penurunan. Hal ini menandakan adanya permintaan yang rendah,” ungkapnya kepada MasterV, Selasa (3/6/2025).

ANTARA/Uyu Septiyati Liman Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menjawab pertanyaan awak media saat ditemui di Jakarta, Rabu (18/12/2024).Tidak hanya pada komoditas pangan, deflasi juga turut terjadi pada komponen harga yang diatur oleh pemerintah, seperti tarif internet.

Padahal sebelumnya, tarif internet sempat mengalami penurunan karena adanya diskon selama periode mudik Lebaran dan Nyepi. Setelah tarif kembali normal, permintaan tetap menunjukkan kelesuan, tidak kembali seperti kondisi sebelumnya.

Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai bahwa deflasi pada bulan Mei ini tidak dapat diartikan sebagai kabar baik semata.

Meskipun Indeks Harga Konsumen (IHK) tahunan masih mencatat inflasi sebesar 1,6 persen, yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Mei tahun sebelumnya yang mencapai 2,84 persen, kondisi ini justru mengindikasikan adanya konsumsi rumah tangga yang tertahan.

“Harga sudah mengalami penurunan, pasokan pun stabil, namun masyarakat masih cenderung menahan diri untuk berbelanja. Terdapat tekanan psikologis yang mendasari hal tersebut,” jelasnya.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menambahkan bahwa daya beli masyarakat memang belum pulih sepenuhnya setelah periode Lebaran.

Ia menjelaskan bahwa pemulihan ekonomi belum merata, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah yang belum banyak merasakan dampak dari kebijakan fiskal yang baru.

MasterV/ISNA RIFKA SRI RAHAYU Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede saat public expoos 2025 di Jakarta, Jumat (7/3/2025).“Inilah yang menyebabkan tekanan deflasi bersifat campuran. Di satu sisi, pasokan pangan sangat kuat. Namun di sisi lain, permintaan masih menunjukkan kelemahan,” tutur Josua.

Tekanan ini juga tercermin dari sisi eksternal. Neraca perdagangan pada bulan April 2025 hanya mencatatkan surplus sebesar 160 juta dolar AS, yang jauh dari ekspektasi yang diharapkan.

Meskipun ekspor mengalami kenaikan sebesar 5,76 persen, impor justru melonjak sebesar 21,84 persen. Lonjakan tertinggi berasal dari impor logam mulia dan perhiasan yang mengalami kenaikan lebih dari 250 persen.

“Kemungkinan besar hal ini merupakan bagian dari akumulasi cadangan emas akibat adanya ketidakpastian global,” ujar Josua, merujuk pada potensi kebijakan proteksionis dari pemerintahan AS.

Dengan berbagai indikator tersebut, para ekonom menyarankan agar pemerintah tidak hanya melihat deflasi dari sisi harga saja, melainkan juga dari sisi konsumsi masyarakat.

“Ini merupakan sinyal penting. Pemerintah perlu memberikan respons terhadap pelemahan daya beli ini dengan lebih serius,” tegas Faisal.

Deflasi memang dapat diartikan bahwa harga-harga menjadi lebih terjangkau. Akan tetapi, jika aktivitas belanja masyarakat tetap tertahan, deflasi justru dapat menjadi pertanda bahwa mesin konsumsi belum kembali berfungsi dengan baik.

Maka, pertanyaan yang muncul kembali adalah, mengapa harga mengalami penurunan, namun aktivitas belanja masih lesu?

.