JAKARTA, MasterV – Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, berpendapat bahwa deflasi yang terjadi pada bulan Mei 2025 sebesar 0,37 persen secara bulanan (month to month/mtm) memberikan indikasi bahwa kekuatan finansial masyarakat belum sepenuhnya pulih setelah perayaan Lebaran.
“Kondisi ini dapat dikaitkan dengan daya beli masyarakat yang belum menunjukkan pemulihan signifikan setelah Lebaran, serta belum meratanya dampak positif pertumbuhan ekonomi di seluruh lapisan masyarakat. Meskipun inflasi inti masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 2,4 persen yoy (year on year/secara tahunan), angka ini tetap menggambarkan bahwa permintaan domestik belum sepenuhnya mengalami ekspansi,” jelas Josua kepada ANTARA di Jakarta, Senin (2/6/2025).
Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan pada Indeks Harga Konsumen (IHK), dari angka 108,47 pada bulan April menjadi 108,07 pada bulan Mei 2025.
MasterV/ISNA RIFKA SRI RAHAYU Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede saat public expoos 2025 di Jakarta, Jumat (7/3/2025).
Sektor makanan, minuman, dan tembakau tercatat sebagai kontributor utama terjadinya deflasi, dengan penurunan sebesar 1,40 persen (mtm) dan memberikan andil terhadap deflasi umum sebesar 0,41 persen.
Komoditas yang mengalami koreksi harga paling signifikan antara lain adalah cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah, yang masing-masing menyumbang deflasi sebesar 0,12 persen, 0,12 persen, dan 0,09 persen.
Penurunan harga ini sejalan dengan proyeksi yang sebelumnya disampaikan oleh Josua, bahwa harga pangan strategis akan mengalami koreksi setelah mengalami lonjakan selama periode Ramadan dan Idul Fitri.
Selain itu, data dari BPS juga mengonfirmasi bahwa inflasi tahunan pada sektor informasi dan komunikasi justru tercatat negatif sebesar 0,28 persen, sementara inflasi inti hanya tumbuh 2,4 persen (yoy), menandakan bahwa daya beli masyarakat belum pulih secara optimal.
Menurut Josua, rendahnya tingkat permintaan ini dipengaruhi oleh belum meratanya pemulihan ekonomi di berbagai lapisan masyarakat, terutama pada kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah yang belum memperoleh dukungan fiskal yang baru.
PIXABAY/TUNG LAM Ilustrasi belanja, belanja di supermarket.
“Oleh karena itu, tekanan deflasi ini bersifat campuran, disebabkan oleh kuatnya sisi penawaran di tengah distribusi logistik yang semakin membaik, serta lemahnya permintaan dari masyarakat yang disebabkan oleh tertahannya daya beli, terutama pada kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah yang belum mendapatkan banyak dukungan fiskal baru,” paparnya.
Di sisi lain, data neraca perdagangan bulan April 2025 juga memperlihatkan adanya tekanan eksternal terhadap perekonomian.
Surplus perdagangan hanya mencapai angka 160 juta dolar AS, yang jauh di bawah ekspektasi pasar. Walaupun ekspor menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,76 persen (yoy), laju impor melonjak hingga mencapai 21,84 persen (yoy), yang didorong oleh lonjakan impor logam mulia dan perhiasan sebesar 253,6 persen (yoy).
Josua menjelaskan bahwa lonjakan impor logam mulia ini kemungkinan berkaitan dengan akumulasi cadangan emas di tengah ketidakpastian global, termasuk kekhawatiran pasar terhadap potensi kebijakan tarif balasan dari pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump.
“Ekspor beberapa komoditas utama, seperti bahan bakar mineral (batubara) dan logam mulia, justru mengalami penurunan, masing-masing sebesar 18,5 persen dan 7,85 persen, yang mempersempit peluang untuk mencapai surplus yang lebih tinggi,” tuturnya.
“Oleh karena itu, meskipun sektor industri pengolahan dan pertanian menunjukkan pertumbuhan yang kuat, ketergantungan pada ekspor komoditas mentah dan fluktuasi harga global membuat neraca perdagangan menjadi lebih rentan,” ungkap Josua.