Babi hutan (Sus scrofa) dikenal sebagai hewan liar yang agresif, dengan tubuh besar, kepala lebar, dan gigi yang kuat. Namun, tidak semua babi hutan bersifat sama. Menurut Dr. Jiajing Wang dari Dartmouth College, “Sebagian babi liar yang lebih ramah dan tidak takut dengan manusia mungkin mulai hidup berdampingan dengan manusia.” Dari sinilah benih domestikasi mulai tumbuh.
Tinggal dekat dengan manusia memberikan akses mudah pada makanan. Seiring waktu, babi-babi ini tidak perlu lagi mempertahankan tubuh besar dan kuatnya. “Tubuh mereka mengecil, begitu juga ukuran otak mereka yang menyusut hingga sepertiganya,” lanjut Dr. Wang.
Jejak Makanan Manusia di Gigi Babi
Penelitian ini mengambil pendekatan yang unik. Alih-alih hanya meneliti bentuk tulang, para arkeolog memeriksa plak gigi (dental calculus) pada gigi geraham 32 spesimen babi dari dua situs Neolitik awal di wilayah Sungai Yangtze Hilir: Jingtoushan (8.300–7.800 tahun lalu) dan Kuahuqiao (8.200–7.000 tahun lalu).
Melalui analisis mikro, ditemukan 240 butiran pati di plak gigi babi. Makanan yang dikonsumsi ternyata mirip dengan makanan manusia kala itu — seperti beras, ubi, biji pohon ek, dan rumput liar. Yang paling menarik, butiran pati tersebut menunjukkan tanda-tanda sudah dimasak, mengindikasikan bahwa babi-babi ini kemungkinan besar mendapatkan makanan dari manusia — baik dengan diberi makan atau mencari sisa-sisa makanan.
“Kita tahu babi tidak memasak sendiri, jadi kemungkinan besar makanan itu berasal dari aktivitas manusia,” jelas Dr. Wang.
Bukti Hubungan Dekat: Telur Parasit Manusia
Yang lebih mengejutkan, para peneliti juga menemukan telur cacing cambuk manusia (Trichuris trichiura) di plak gigi babi. Telur berwarna kuning kecokelatan berbentuk bola ini ditemukan pada 16 spesimen. Parasit ini biasanya hanya berkembang dalam tubuh manusia, jadi satu-satunya penjelasan logis adalah babi memakan sisa makanan atau air yang terkontaminasi feses manusia.
“Babi memang dikenal sebagai pemakan limbah manusia, dan ini semakin menguatkan dugaan bahwa mereka hidup sangat dekat dengan manusia,” kata Dr. Wang.
(mauribo/Canva Pro) Ilustrasi demam babi.
Jalan Menuju Domestikasi: Dari Sampah Menjadi Sahabat
Penemuan ini mendukung teori jalur komensal dalam domestikasi hewan, yaitu proses di mana hewan secara alami tertarik pada lingkungan manusia karena adanya sumber makanan, bukan karena manusia secara aktif menjinakkannya sejak awal. Seiring waktu, hewan seperti babi yang lebih toleran terhadap kehadiran manusia akan bertahan dan berkembang.
Namun, studi ini juga menemukan indikasi bahwa manusia mungkin sudah mulai mengelola babi secara aktif — yang disebut sebagai jalur mangsa dalam proses domestikasi.
“Beberapa babi liar mungkin memulai langkah pertama menuju domestikasi dengan cara mengais sisa limbah manusia,” ujar Dr. Wang.
Lebih dari Sekadar Domestikasi: Petunjuk Awal Penyakit Zoonosis?
Menariknya, temuan telur parasit manusia pada babi juga memberikan wawasan baru tentang penularan penyakit parasit pada komunitas manusia awal yang mulai hidup menetap. Interaksi erat antara manusia dan hewan peliharaan kemungkinan besar membuka jalan bagi penyakit-penyakit zoonosis — sebuah isu kesehatan global hingga saat ini.
Penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana babi — salah satu hewan ternak terpenting saat ini — pertama kali dijinakkan. Melalui jejak makanan dan parasit di plak gigi, kita bisa melihat kisah domestikasi yang rumit namun menarik, yang telah dimulai ribuan tahun lalu di dataran subur China Selatan.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) dan membuka jalan bagi studi lebih lanjut tentang evolusi hubungan manusia dan hewan.