MasterV, Jakarta – Komisi XII DPR RI menyoroti dengan tajam aktivitas pertambangan nikel yang berlangsung di Raja Ampat. Sebagai respons, komisi ini mendesak dilakukannya audit secara menyeluruh serta moratorium terhadap izin tambang baru.
Dony Maryadi Oekon, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Beliau menekankan bahwa keberadaan aktivitas tambang di wilayah tersebut membawa risiko besar terhadap kerusakan ekosistem yang sangat rentan, padahal wilayah ini merupakan kekayaan hayati dunia yang tak ternilai.
“Raja Ampat dikenal luas sebagai salah satu kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Oleh karena itu, kehadiran tambang nikel di area ini berpotensi merusak ekosistemnya yang begitu rapuh,” tegas Dony.
Perlu diketahui, Raja Ampat telah diakui sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark sejak 24 Mei 2023, dan secara resmi menjadi anggota Global Geopark Network, mencakup empat pulau utama yaitu: Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool.
Aktivitas pertambangan di kawasan ini telah menimbulkan gelombang penolakan dari masyarakat adat serta para pelaku di sektor pariwisata. Kekhawatiran utama mereka adalah ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan darat, yang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan.
Narasi “Save Raja Ampat” pun menggema di berbagai platform media sosial, menjadi wadah ekspresi kekhawatiran atas potensi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan.
Dony mengingatkan kembali tentang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyatakan bahwa sumber daya mineral adalah kekayaan yang tidak dapat diperbaharui dan harus dikelola oleh negara demi kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, dengan mengedepankan prinsip berkelanjutan, efisiensi, transparansi, serta berwawasan lingkungan.
“Dalam konteks Raja Ampat, implementasi UU ini menghadapi tantangan signifikan, terutama dalam hal perlindungan lingkungan serta hak-hak masyarakat adat,” imbuhnya.
Berdasarkan informasi yang diterima Komisi XII, saat ini tercatat ada empat perusahaan yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah geopark Raja Ampat.
Dony menegaskan bahwa pemberian izin tambang harus didasarkan pada kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang komprehensif, terutama jika lokasi tambang berada di wilayah pulau-pulau kecil. Ia mengacu pada UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai dasar argumennya.
“Komisi XII DPR RI akan segera meminta penjelasan dan klarifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian ESDM terkait dengan aktivitas pertambangan yang terjadi di Raja Ampat,” ujarnya.
Dony juga menyatakan bahwa pihaknya tengah melakukan pengkajian mendalam terhadap laporan-laporan yang berasal dari masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya. Tujuannya adalah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan audit yang menyeluruh dan transparan terhadap seluruh IUP nikel yang ada di Raja Ampat.
“Kami mendorong agar dilakukan audit yang transparan terhadap seluruh izin pertambangan, termasuk verifikasi AMDAL, dampak sosial yang ditimbulkan, serta status hukum wilayah yang ditambang, apakah berada di kawasan lindung, tanah adat, atau zona konservasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dony menyerukan agar dilakukan moratorium, atau penghentian sementara, terhadap semua aktivitas tambang baru di Raja Ampat. Tindakan ini perlu diambil sampai dilakukannya penilaian strategis dan ekologis secara komprehensif.