DPR: Kebijakan Cukai Rokok Harus Jaga Ekonomi Lokal

Admin

22/06/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – M Misbakhun, Ketua Komisi XI DPR RI, menegaskan urgensi bagi pemerintah untuk merumuskan sebuah kebijakan cukai yang berimbang. Tujuannya adalah untuk mencegah pengalihan konsumsi ke produk-produk hasil tembakau yang tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara.

"Perumusan kebijakan cukai yang berimbang sangatlah krusial. Hal ini bertujuan agar tidak mendorong konsumen beralih ke produk-produk yang tidak tercatat atau produk yang tidak menyumbang pada penerimaan negara," ungkapnya dalam keterangan resmi di Jakarta, yang dikutip dari Antara, Selasa (10/6/2025).

Pernyataan ini disampaikan sebagai respons terhadap rencana perubahan kebijakan yang berpotensi menaikkan tarif cukai rokok. Kenaikan ini dikhawatirkan akan memengaruhi daya beli konsumen, terutama mereka yang berada di segmen ekonomi menengah ke bawah, serta berpotensi mengganggu stabilitas penerimaan negara.

PIXABAY/GERD ALTMANN Ilustrasi rokok.

Data lapangan menunjukkan bahwa mayoritas konsumen rokok dengan harga terjangkau berasal dari kelompok pendapatan setara UMR atau bahkan di bawahnya.

Rokok dengan harga antara Rp 13.000 hingga Rp 15.000 per bungkus masih menjadi pilihan utama bagi konsumen. Namun, kenaikan tarif cukai dapat menyebabkan harga jual melonjak menjadi sekitar Rp 20.000 per bungkus atau lebih.

Misbakhun menekankan bahwa pabrik rokok skala menengah memainkan peran penting dalam menopang perekonomian lokal.

Selain menjadi penyerap tenaga kerja yang signifikan, mereka juga menggerakkan sektor-sektor pendukung lainnya, seperti petani tembakau, pedagang kecil, distributor, dan pekerja informal yang terlibat dalam ekosistem industri hasil tembakau.

"Kita tidak boleh mengabaikan dampak struktural dari kebijakan ini. Jika kebijakan yang diterapkan terlalu memberatkan pabrikan menengah, maka akan timbul efek domino seperti penurunan penyerapan tenaga kerja dan gangguan terhadap perputaran ekonomi lokal. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan Visi Asta Cita Presiden Prabowo," tegasnya.

FREEPIK/ATLASCOMPANY IIustrasi rokok. Berhenti merokok bisa dimulai dengan langkah sederhana seperti mengurangi atau menunda waktu merokok, asal disertai niat yang kuat.

Lebih lanjut, ia menyoroti potensi dominasi perusahaan-perusahaan besar dalam industri rokok jika kebijakan yang diambil hanya menguntungkan pelaku usaha dengan modal besar dan berbasis otomatisasi. Sementara itu, pabrik-pabrik kecil dan menengah yang cenderung padat karya akan menghadapi tantangan yang berat untuk bertahan.

Data dari Asosiasi Industri Rokok menunjukkan bahwa sekitar 70 persen produksi rokok nasional dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar, sementara pelaku usaha skala kecil dan menengah hanya menguasai sebagian kecil dari pasar.

"Jika konsentrasi pasar terus meningkat, iklim persaingan yang sehat akan tergerus dan keberlangsungan usaha kelas menengah menjadi terancam," paparnya.

Menurutnya, kebijakan fiskal yang memperhatikan daya beli masyarakat akan lebih efektif dalam jangka panjang, termasuk dalam menjaga kontribusi sektor ini terhadap penerimaan negara.

"Jika pendekatannya hanya berdasarkan target tahunan tanpa mempertimbangkan realitas sosial ekonomi, kebijakan ini justru berpotensi melemahkan basis penerimaan cukai itu sendiri," jelas Misbakhun.

Komisi XI DPR RI, sambungnya, akan segera mengundang Menteri Keuangan, Dirjen Bea Cukai, dan jajaran Kemenkeu untuk membahas secara mendalam mengenai arah kebijakan penerimaan dari sektor hasil tembakau dalam kerangka RAPBN 2026.

"Dengan pendekatan yang komprehensif dan berbasis data, kita berharap akan ada kebijakan yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal negara dan keberlanjutan pelaku industri skala menengah, serta stabilitas ekonomi lokal," pungkas Misbakhun.