DPR Desak Hakim Korupsi APD Covid-19 Diperiksa!

Admin

19/06/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Hasbiallah Ilyas, seorang anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mendesak agar Komisi Yudisial (KY) atau Mahkamah Agung (MA) melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim yang menjatuhkan vonis ringan dalam kasus korupsi pengadaan 1,1 juta alat pelindung diri (APD) Covid-19.

Seperti diketahui bersama, Budy Sylviana, mantan Pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hanya divonis tiga tahun penjara, meskipun kerugian negara mencapai angka fantastis, yakni Rp 319 miliar.

“Jika demikian, hakimnya juga perlu diperiksa,” tegas Hasbiallah, setelah menghadiri acara diskusi publik bertajuk “Legalisasi Kasino di Indonesia: Antara Kepastian Hukum, Tantangan Sosial, dan Peluang Ekonomi” yang diselenggarakan oleh Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta, pada hari Sabtu (7/6/2025).

Menurut Hasbi, mengingat kasus korupsi ini terjadi pada masa pandemi, seharusnya hukuman yang diberikan kepada para terdakwa jauh lebih berat dibandingkan dengan kasus korupsi pada umumnya.

“Tidak bisa dibenarkan, ini terjadi saat Covid-19,” imbuhnya dengan nada prihatin.

Hasbi menegaskan kembali bahwa para koruptor yang memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 untuk melakukan tindakan keji selayaknya mendapatkan hukuman yang maksimal.

“Korupsi Covid-19, menurut pandangan saya, adalah korupsi yang sangat merusak, karena menyangkut nyawa manusia. Bukan hanya soal kerugian keuangan, tetapi juga soal nyawa. Oleh karena itu, harus dihukum seberat-beratnya,” tandasnya dengan penuh keyakinan.

Sebelumnya telah diberitakan bahwa tiga orang terdakwa dalam kasus pengadaan 1,1 juta APD Covid-19 telah menerima vonis dari majelis hakim.

Ketiga terdakwa tersebut adalah Budi Sylvana (mantan pejabat Kementerian Kesehatan/Kemenkes), Satrio Wibowo (Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia/EKI), dan Ahmad Taufik (Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri/PPM).

Budi Sylvana, mantan pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), divonis tiga tahun penjara terkait kasus dugaan korupsi pengadaan 1,1 juta set alat pelindung diri (APD) Covid-19.

Perlu diketahui, Budi adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan di masa darurat yang menggunakan dana siap pakai dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama tiga tahun,” ucap Ketua Majelis Hakim Syofia Marlianti Tambunan saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor, Jumat (5/6/2025).

Selain hukuman penjara, majelis hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp 100 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama dua bulan.

Berbeda dengan dua terdakwa lainnya, yaitu Satrio Wibowo (Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia/EKI) dan Ahmad Taufik (Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri/PPM), Budi tidak dihukum untuk membayar uang pengganti.

Selanjutnya, Satrio Wibowo, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI), divonis 11 tahun dan enam bulan penjara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyatakan bahwa Satrio terbukti bersalah telah menyalahgunakan wewenang dan melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 319.691.374.183,06 (Rp 319,6 miliar).

Selain pidana penjara, Satrio juga dikenakan denda sebesar Rp 1 miliar, dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan.

Satrio juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 59.980.000.000, yang merupakan nilai uang korupsi yang dinikmati Satrio dalam kasus ini.

Kemudian, Ahmad Taufik, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), divonis 11 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan 1,1 juta set alat pelindung diri (APD) Covid-19.

Tidak hanya hukuman kurungan, majelis hakim juga menghukum Taufik dengan denda sebesar Rp 1 miliar.

Apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka masa hukuman penjaranya akan ditambah selama empat bulan.

Selain itu, majelis hakim juga mewajibkan Taufik untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 224.186.961.098 (Rp 224,1 miliar).