DPR Sebut Kejadian di Raja Ampat Jadi Pelajaran: Pemerintah Jangan Ugal-ugalan Terbitkan Izin Tambang

Admin

23/06/2025

4
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, telah mengumumkan secara tegas pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) milik empat perusahaan yang dianggap bermasalah dari sisi lingkungan dan tata ruang di wilayah Raja Ampat.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, meminta Pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem penerbitan IUP. Tujuannya adalah memastikan bahwa aktivitas pertambangan tidak melanggar aturan yang berlaku, seperti yang terjadi di Raja Ampat.

“Kejadian yang menimpa Raja Ampat ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah. Jangan sampai Pemerintah gegabah dalam menerbitkan izin tambang. Pemerintah seharusnya tidak bertindak seperti makelar tambang,” tegas Mufti dalam keterangannya pada hari Selasa (10/6/2025).

Politikus dari PDIP ini mengingatkan bahwa Raja Ampat memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Wilayah ini merupakan habitat bagi ratusan jenis flora dan fauna yang unik, langka, serta terancam punah. Oleh karena itu, aktivitas pertambangan akan sangat merugikan ekosistem lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat setempat.

“Yang dipertaruhkan bukan hanya hasil tambang, tetapi juga harga diri kita sebagai bangsa! Raja Ampat bukan untuk ditambang, melainkan untuk dijaga kelestariannya. Pemerintah yang membiarkan aktivitas tambang merajalela di sana sama saja dengan menghancurkan masa depan generasi penerus kita,” ujarnya dengan nada prihatin.

Mufti juga menyoroti bahwa penambangan di pulau-pulau kecil di Raja Ampat tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo UU No 27 Tahun 2007 yang secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2.

Oleh karena itu, Mufti mempertanyakan bagaimana mungkin izin tambang dapat diterbitkan di Raja Ampat, yang sebagian besar merupakan wilayah konservasi. Lebih ironis lagi, sebagian area pertambangan berdekatan dengan Pulau Piaynemo, yang dikenal sebagai destinasi wisata utama di Raja Ampat.

“Bahkan, sungguh mengherankan bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) justru menetapkan beberapa pulau kecil sebagai kawasan pertambangan, yang jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang yang berlaku,” ungkap Mufti dengan nada kecewa.

“Belum lagi adanya respons dari sejumlah pejabat yang terkesan membela aktivitas tambang, sehingga memunculkan narasi-narasi yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat asli Papua,” imbuhnya.

Mufti menegaskan bahwa Raja Ampat merupakan kawasan konservasi dan pariwisata kelas dunia, bukan zona industri ekstraktif. Oleh karena itu, menurutnya, sangat tidak masuk akal jika izin-izin pertambangan dapat muncul di kawasan Raja Ampat.

“Sudah cukup hutan kita habis, laut kita rusak, dan masyarakat adat kita digusur. Kita tidak boleh menggadaikan alam yang merupakan modal kehidupan masa depan,” tegas Mufti.

Untuk itu, Mufti menekankan bahwa ketegasan Pemerintah dalam menutup izin tambang bermasalah sangat dibutuhkan. Hal ini terkait erat dengan komitmen perlindungan terhadap lingkungan dan integritas dalam menjalankan hukum.

“Jika negara ini masih memiliki akal sehat, seharusnya aktivitas tambang bermasalah di Raja Ampat segera dihentikan. Karena Raja Ampat harus dilindungi, bukan dirusak! Dengarkan aspirasi rakyat, bukan hanya kepentingan pemilik modal,” tegas Legislator dari Dapil Jawa Timur II tersebut.

“Jangan sampai kita menjual surga dunia yang ada di Indonesia kepada para pengeruk keuntungan yang hanya menyebabkan lingkungan rusak dan rakyat menderita,” sambung Mufti.

Mufti juga mengkritik respons Pemerintah yang terkesan terlalu reaktif namun lamban dalam menyikapi polemik tambang nikel di kawasan Pulau kecil Raja Ampat, Papua Barat Daya. Menurutnya, penghentian sementara tambang baru dilakukan setelah tagar #SaveRajaAmpat menjadi viral dan mendapat perhatian luas di media sosial.

“Ini bukanlah persoalan yang baru. Aturan tentang larangan tambang di pulau-pulau kecil sudah sangat jelas, namun tetap saja izin pertambangan dikeluarkan. Pemerintah seharusnya tidak menunggu viral dulu baru bertindak,” ungkapnya.

Selain perkara viral, Mufti menilai bahwa yang perlu menjadi pertanyaan utama adalah bagaimana izin-izin tambang di kawasan Raja Ampat bisa muncul.

“Padahal, kriteria di pulau-pulau kecil secara hukum sudah dilarang untuk ditambang. Perlu juga dilakukan pemeriksaan mendalam terhadap latar belakang perusahaan yang memiliki konsesi tambang. Bukan hanya tambang nikel, tetapi juga termasuk emas dan batu bara,” jelas Mufti.

Mufti pun mendesak Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup (LH) untuk membuka data lengkap mengenai seluruh izin tambang di kawasan Raja Ampat, termasuk status hukum dan lokasi detailnya.

"Publik berhak tahu sejauh mana negara melindungi wilayah-wilayah konservasi. Jangan sampai muncul kesan bahwa hukum dapat dinegosiasikan demi investasi,” ungkapnya.