Duduk Perkara Polemik Tambang Nikel Raja Ampat: Dari Protes Publik hingga Izin Dicabut

Admin

24/06/2025

4
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Penambangan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi sorotan pada Juni 2025. Pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas dengan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan yang beroperasi di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap kekhawatiran kerusakan lingkungan dan pelanggaran peraturan yang berlaku.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, atas arahan Presiden Prabowo Subianto, memerintahkan penyelidikan cepat dan penghentian sementara aktivitas penambangan. Tim gabungan dari pemerintah pusat dan daerah melakukan peninjauan langsung ke lokasi tambang untuk memastikan kondisi di lapangan. Hasilnya, ditemukan adanya pelanggaran yang signifikan terhadap peraturan lingkungan, yang menjadi dasar pencabutan IUP.

Langkah ini diapresiasi oleh berbagai pihak, termasuk Komisi X DPR RI. Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menilai keputusan ini sebagai komitmen pemerintah untuk menjaga lingkungan dan warisan budaya Raja Ampat yang tak ternilai.

Awal Juni 2025, sorotan publik terhadap penambangan tambang nikel di Raja Ampat semakin meningkat, memicu kekhawatiran akan kerusakan lingkungan yang lebih luas. Pada tanggal 4 Juni 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, atas arahan Presiden Prabowo Subianto dan Sekretaris Kabinet, menginstruksikan penyelidikan segera dan penghentian sementara semua aktivitas penambangan.

Pada 5 Juni 2025, seluruh produksi tambang dihentikan sementara, kecuali untuk PT Gag Nikel, yang saat itu menjadi satu-satunya perusahaan dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang valid. Menteri ESDM, bersama Gubernur Papua Barat Daya dan Bupati Raja Ampat, melakukan inspeksi mendadak ke lokasi tambang pada 6 Juni 2025, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha.

Pemerintah secara resmi mengumumkan pencabutan IUP empat perusahaan tambang nikel pada 10 Juni 2025. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan komprehensif, termasuk pelanggaran terhadap peraturan lingkungan yang berlaku.

Awalnya, terdapat lima perusahaan yang memegang izin tambang nikel di Raja Ampat. PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag, di luar zona Geopark Raja Ampat, dan mengklaim praktik penambangan berkelanjutan. PT Anugerah Surya Pratama beroperasi di Pulau Manuran, sementara PT Kawei Sejahtera Mining memiliki IUP hingga 2033 dan telah melakukan pembukaan lahan dan penambangan.

PT Mulia Raymond Perkasa masih dalam tahap eksplorasi dan belum memiliki dokumen lingkungan yang lengkap. Informasi mengenai PT Nurham masih terbatas. Pemerintah kemudian mencabut IUP PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham.

Pencabutan izin ini didasarkan pada pertimbangan lingkungan dan pelanggaran peraturan. Lokasi penambangan yang berada di kawasan sensitif lingkungan, seperti pulau-pulau kecil dan kawasan hutan lindung, menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan ini.

Keputusan pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat didasarkan pada beberapa pertimbangan utama. Kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan menjadi perhatian utama, memicu kontroversi dan protes dari berbagai pihak. Selain itu, kepatuhan perusahaan tambang terhadap peraturan lingkungan dan perizinan juga dipertanyakan.

Pemerintah menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses perizinan dan pengawasan aktivitas pertambangan. Potensi konflik kepentingan antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan juga menjadi sorotan. Izin tambang PT Gag Nikel, yang berasal dari era Orde Baru, menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas dan dampak jangka panjangnya.

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyatakan bahwa pencabutan izin ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk menjaga lingkungan dan warisan budaya. Status Raja Ampat sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark harus diiringi dengan strategi pengelolaan yang menggabungkan pelestarian alam dan budaya.

Hetifah Sjaifudian menekankan pentingnya partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan Geopark Raja Ampat. Menurutnya, suara masyarakat lokal yang selama ini memperjuangkan kelestarian wilayahnya harus didengar dan dihargai. Masyarakat harus menjadi aktor utama dalam menjaga identitas dan lingkungan hidup mereka.

Integrasi antara kebijakan lingkungan dan kebudayaan harus menjadi prinsip utama dalam perizinan usaha pertambangan, terutama di kawasan yang diakui dunia seperti Geopark. Hetifah juga mendorong adanya penataan ulang terhadap pengelolaan Geopark di seluruh Indonesia agar warisan budaya tidak dikorbankan demi kepentingan jangka pendek.