Vonis Korupsi APD Covid Ringan, Eks Penyidik KPK: Suram!

Admin

17/06/2025

3
Min Read

On This Post

Yudi Purnomo Harahap, mantan penyidik KPK, mengungkapkan keheranannya atas vonis ringan yang dijatuhkan kepada tiga terdakwa kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Vonis tersebut dinilai lebih rendah dari tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum KPK. Menurut Yudi, hukuman yang ringan semacam ini tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

"Sungguh mengherankan mengapa hukuman bagi para koruptor cenderung semakin ringan. Kasus terbaru adalah korupsi APD COVID ini. Tentu saja, ini tidak akan menciptakan efek jera," tegas Yudi kepada awak media, Sabtu (7/6/2025).

Yudi berpendapat bahwa hukuman ringan terhadap pelaku korupsi justru akan mendorong orang untuk semakin berani melakukan tindakan korupsi. Ia menambahkan bahwa vonis ringan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap koruptor harus menjadi perhatian serius bagi Mahkamah Agung (MA).

"Ini justru akan memicu keberanian orang untuk melakukan korupsi. Seharusnya, MA mencatat bahwa hakim-hakim tipikor seolah tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi," tandas Yudi.

Yudi kembali menegaskan keheranannya terhadap vonis ringan yang diterima tiga terdakwa korupsi APD COVID, mengingat kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar. Menurutnya, vonis ringan terhadap terdakwa korupsi hanya membuat penegakan hukum di Indonesia semakin suram.

"Terlepas dari independensi hakim, namun logika vonis ringan dengan kerugian negara yang begitu besar membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi semakin suram," jelas Yudi.

Yudi berharap agar Komisi Yudisial (KY) melakukan evaluasi terhadap maraknya vonis ringan yang dijatuhkan oleh hakim. Selain itu, Yudi juga meminta para penegak hukum, seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, untuk membuktikan kasus korupsi di persidangan dengan alat bukti yang kuat.

"Kami berharap KY mengevaluasi fenomena maraknya vonis ringan ini. Sementara itu, penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan juga harus menyikapi fenomena ini, baik dari sisi pencegahan maupun penindakan," kata Yudi.

"Apabila ada vonis yang sangat tidak masuk akal dan tidak logis, padahal penegak hukum, dalam hal ini JPU, mampu membuktikan kasus korupsi tersebut di persidangan dengan alat bukti yang kuat," imbuhnya.

3 Terdakwa Divonis Ringan

Tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri COVID-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah divonis dengan hukuman penjara antara 3 hingga 11,5 tahun. Hakim menyatakan bahwa ketiganya terbukti bersalah melakukan korupsi dalam kasus tersebut.

Sidang vonis tersebut digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada hari Kamis (5/6). Adapun ketiga terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan pada Kemenkes, Budi Sylvana; Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI), Satrio Wibowo; dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM), Ahmad Taufik.

Hakim terlebih dahulu membacakan vonis untuk Budi. Budi dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.

"Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dan denda sejumlah Rp 100 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan," ujar ketua majelis hakim Syofia Marlianti Tambunan.

Hakim menyatakan bahwa Budi terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara itu, Ahmad Taufik divonis 11 tahun penjara, denda sebesar Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Hakim juga menghukum Taufik untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 224,18 miliar subsider 4 tahun kurungan.

Kemudian, Satrio Wibowo divonis 11 tahun dan 6 bulan penjara, denda sebesar Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Satrio juga dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 59,98 miliar subsider 3 tahun kurungan.

Hakim menyatakan bahwa Taufik dan Satrio terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.