NEW YORK, MasterV – Pada Mei 2025, kinerja ekspor Tiongkok tidak berhasil memenuhi proyeksi pasar. Ekspor Tiongkok mengalami dampak yang signifikan akibat penurunan tajam ekspor ke Amerika Serikat (AS), mencapai titik terendah dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Sejumlah analis berpendapat bahwa dampak dari "gencatan senjata" dalam perang dagang antara AS dan Tiongkok akan tercermin dalam data ekspor dan impor pada Juni 2025.
Mengutip Liputanku dari CNBC, Senin (9/6/2025), ekspor Tiongkok ke AS merosot sebesar 34,5 persen pada Mei 2025, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
SHUTTERSTOCK/APCHANEL Ilustrasi ekspor.
Menurut Wind Information, penurunan ini merupakan yang paling curam sejak Februari 2020, saat pandemi Covid-19 mengganggu aktivitas perdagangan global.
Impor dari AS mengalami penurunan lebih dari 18 persen, dan surplus perdagangan Tiongkok dengan AS menyusut sebesar 41,55 persen secara tahunan, menjadi 18 miliar dollar AS.
Berdasarkan data dari Bea dan Cukai Tiongkok, secara keseluruhan, ekspor Tiongkok meningkat sebesar 4,8 persen dalam dollar AS pada Mei 2025, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Impor mengalami penurunan sebesar 3,4 persen pada Mei 2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kecenderungan penurunan impor di Tiongkok tahun ini sebagian besar disebabkan oleh permintaan domestik yang belum pulih sepenuhnya.
Penurunan tersebut sebagian besar diimbangi oleh peningkatan ekspor ke Asia Tenggara, yang melonjak hampir 15 persen dari tahun sebelumnya, serta ekspor ke negara-negara Uni Eropa dan Afrika, yang masing-masing mengalami kenaikan sebesar 12 persen dan lebih dari 33 persen.
Secara keseluruhan, surplus perdagangan Tiongkok meningkat sebesar 25 persen dari tahun sebelumnya, mencapai 103,2 miliar dollar AS pada Mei 2025.
PIXABAY/PETER LINDENAU Ilustrasi ekspor impor, kegiatan ekspor dan impor.
Akan tetapi, pertumbuhan ekspor pada Mei 2025 mengalami perlambatan yang cukup signifikan, jika dibandingkan dengan peningkatan sebesar 8,1 persen pada April 2025, saat lonjakan ekspor ke negara-negara Asia Tenggara menutupi penurunan tajam ekspor ke AS.
Ekspor Tiongkok ke AS mengalami penurunan lebih dari 21 persen pada April 2025, sebagai akibat dari pemberlakuan tarif impor yang tinggi.
"Meskipun tarif yang mahal baru dicabut pada pertengahan Mei, dampak negatifnya telah terasa," ujar Tianchen Xu, seorang ekonom senior di Economist Intelligence Unit.
Xu memprediksi bahwa ekspor ke AS akan mengalami sedikit pemulihan pada Juni 2025.
"Juni akan menjadi bulan penuh pertama bagi para eksportir Tiongkok untuk merasakan manfaat dari pengurangan tarif AS," terang Xu.
Tarif sebesar 145 persen yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap barang-barang Tiongkok mulai berlaku pada April 2025.
Hal ini mendorong Beijing untuk melakukan pembalasan dengan memberlakukan bea masuk tiga digit dan tindakan pembatasan lainnya, seperti kontrol ekspor terhadap mineral penting.
AS dan Tiongkok mencapai kesepakatan awal di Jenewa, Swiss, pada bulan lalu, yang mengakibatkan kedua belah pihak mencabut sebagian besar tarif.
Tarif impor terhadap barang-barang dari Tiongkok saat ini mencapai 51,1 persen, sementara bea masuk Beijing terhadap impor dari AS mencapai 32,6 persen, menurut Peterson Institute for International Economics.
Zichun Huang, seorang ekonom di Capital Economics, menyatakan bahwa terdapat tanda-tanda awal permintaan AS terhadap barang-barang dari Tiongkok mengalami peningkatan setelah kesepakatan di Jenewa.
Huang mengingatkan bahwa tarif yang ada kemungkinan tidak akan dikurangi lebih lanjut, atau bahkan dapat dinaikkan kembali, dan hal ini akan menyebabkan pertumbuhan ekspor yang lebih lambat pada akhir tahun.
Wakil Perdana Menteri dan kepala perwakilan perdagangan Tiongkok, He Lifeng, diperkirakan akan bertemu dengan tim negosiasi perdagangan AS yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Scott Bessent di London untuk memulai kembali perundingan perdagangan.
Pertemuan putaran kedua ini terjadi setelah ketegangan kembali meningkat antara kedua belah pihak, karena mereka saling menuduh telah melanggar perjanjian perdagangan Jenewa.
Washington menyalahkan Beijing karena memperlambat realisasi janjinya untuk menyetujui ekspor mineral penting tambahan ke AS, sementara Tiongkok mengkritik keputusan AS untuk memberlakukan pembatasan baru pada visa pelajar Tiongkok dan pembatasan ekspor tambahan pada chip.