MasterV, Jakarta – Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menyatakan harapannya agar tidak ada kegiatan penambangan yang berlangsung di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Menurutnya, kegiatan eksploitasi sumber daya alam tersebut hanya akan merusak keindahan alam yang mempesona serta mengancam keseimbangan ekosistem.
Kawasan Raja Ampat saat ini menjadi perhatian utama publik, menyusul dugaan adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh sejumlah perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah tersebut.
“Ya, saya pikir kita semua prihatin dengan apa yang terjadi di sana. Kita berharap tidak ada aktivitas penambangan yang dapat mencoreng keindahan alam dan merusak ekosistem yang luar biasa indahnya di Raja Ampat,” ujar Fadli Zon, saat ditemui di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (6/6/2025).
Fadli Zon juga mengingatkan pentingnya menjaga situs-situs bersejarah dari dampak negatif investasi dan aktivitas penambangan.
“Selain itu, situs-situs yang menurut saya sangat berharga ini juga perlu diperhatikan. Perlu ada pembahasan lebih lanjut mengenai bagaimana investasi dan kegiatan penambangan tidak sampai mengganggu situs-situs bersejarah, termasuk ekosistem alam yang selama ini telah terjaga dengan baik,” tegasnya.
Politikus dari Partai Gerindra ini memberikan apresiasi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, atas langkahnya menghentikan sementara aktivitas penambangan di Raja Ampat.
Namun, ia mengungkapkan bahwa ada beberapa kegiatan pertambangan di daerah lain yang berpotensi mengancam keberadaan gua-gua purba.
“Kami juga memantau beberapa lokasi di Sulawesi dan Kalimantan. Di sana, terdapat aktivitas penambangan yang mengancam gua-gua purba yang menyimpan lukisan-lukisan kuno berusia puluhan ribu tahun. Hal ini sangat membahayakan,” ungkap Fadli.
Ia mengaku telah menyampaikan permasalahan ini kepada Bahlil. Kementerian Kebudayaan juga telah melakukan kajian, terutama terkait gua-gua purba yang berada di Kalimantan.
“Ya, secara lisan sudah saya sampaikan, tetapi kami sedang menyusun kajiannya, termasuk lokasi-lokasi tempat tersebut, khususnya yang berada di Kalimantan,” pungkasnya.
Menanggapi polemik terkait kegiatan tambang nikel di kawasan Raja Ampat, yang diduga telah merusak ekosistem setempat, Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Ade Triaji Kusumah, menjelaskan bahwa Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, telah memberikan arahan tegas untuk tidak menerbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) baru di Raja Ampat.
Hingga saat ini, tercatat ada dua PPKH yang telah diterbitkan di wilayah Raja Ampat, masing-masing pada tahun 2020 dan 2022. Keduanya didasarkan pada perizinan di sektor pertambangan, berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan persetujuan lingkungan yang berlaku pada saat itu.
“Sebagai respons atas kekhawatiran terhadap potensi degradasi lingkungan di kawasan bernilai konservasi tinggi seperti Raja Ampat, Menteri Kehutanan telah menginstruksikan penghentian sementara penerbitan PPKH baru. Intinya, yang baru kita hentikan, yang lama kita evaluasi dan awasi dengan ketat,” kata Ade dalam keterangannya, Kamis (5/6/2025).
Ia menuturkan bahwa pihaknya memprioritaskan perlindungan kawasan ini. Langkah ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam melestarikan keanekaragaman hayati dan memperkuat peran masyarakat adat serta lokal sebagai penjaga hutan yang berkelanjutan.
“Kami juga akan terus memperkuat koordinasi dengan instansi terkait, pemerintah daerah, serta masyarakat sipil, agar setiap bentuk pembangunan di Raja Ampat dapat berlangsung secara berkelanjutan dan tidak mengancam kelestarian lingkungan,” pungkas Ade.
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup menyegel empat tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat. Keempat perusahaan tambang nikel yang disegel tersebut adalah PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa.
Meskipun seluruhnya telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), hanya tiga perusahaan yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), yaitu PT ASP, PT GN, dan PT KSM.
“PT ASP, perusahaan Penanaman Modal Asing asal Tiongkok, melakukan aktivitas tambang di Pulau Manuran seluas kurang lebih 746 hektare. Sementara PT GN beroperasi di Pulau Gag seluas kurang lebih 6.030,53 hektare,” ujar Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, dalam keterangannya yang diterima Liputanku, Kamis (5/6/2025).
Ia menegaskan bahwa kedua pulau tersebut dikategorikan sebagai pulau kecil, yang seharusnya tidak diperuntukkan bagi aktivitas pertambangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Hanif mengungkapkan bahwa tim pengawas menemukan sejumlah pelanggaran, khususnya oleh PT ASP, antara lain tidak memiliki sistem manajemen lingkungan dan tidak melakukan pengelolaan limbah larian. Oleh karena itu, KLH menghentikan aktivitas tersebut dan memasang plang peringatan sebagai bentuk tindakan tegas.
“KLH/BPLH akan mengevaluasi Persetujuan Lingkungan yang dimiliki PT GN dan PT ASP. Jika terbukti bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, maka izin tersebut akan dicabut,” tegasnya.
Hanif menyampaikan, berdasarkan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU Nomor 1 Tahun 2014, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya diprioritaskan untuk kegiatan non-pertambangan, seperti konservasi, pendidikan, perikanan, dan pariwisata berkelanjutan.
“Kegiatan pertambangan bukanlah prioritas di pulau kecil. Hal ini juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023,” jelasnya.
Dalam putusan MK tersebut ditegaskan bahwa larangan relatif terhadap kegiatan penambangan di pulau-pulau kecil berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), seperti polusi air laut dan perubahan tata ruang yang merusak daya dukung ekosistem.
Sementara itu, PT MRP yang beroperasi di Pulau Batang Pele juga ditemukan melanggar karena tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH, sehingga kegiatan eksplorasinya dihentikan.
Adapun PT KSM yang beroperasi di Pulau Kawe diketahui membuka tambang di luar area yang disetujui dalam dokumen lingkungan dan PPKH seluas 5 hektare. Aktivitas ini menimbulkan sedimentasi di pesisir pantai.
“Untuk PT KSM, akan diberikan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah untuk melakukan pemulihan lingkungan dan kemungkinan gugatan perdata,” pungkasnya.
Sumber: Merdeka.com