MasterV, Jakarta – Wacana transformasi Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB University menjadi Sekolah Teknik telah memicu perdebatan di antara sejumlah tokoh penting yang memiliki ikatan sejarah yang mendalam dengan fakultas tersebut. Isu ini menjadi perhatian utama dalam dunia pendidikan tinggi.
Prof. Aman Wirakartakusumah menegaskan bahwa Fateta IPB lebih dari sekadar fakultas teknik biasa; ia adalah pusat keilmuan multidisiplin yang secara komprehensif mencakup seluruh rantai sistem pangan nasional. Pandangan ini mencerminkan pentingnya peran Fateta dalam ekosistem pertanian.
"Dari hulu hingga hilir, sektor pertanian sangat bergantung pada teknologi yang mumpuni. Fateta adalah perpaduan unik antara ilmu teknik, ilmu alam, dan manajemen. Peran vitalnya tak terbantahkan dalam menjawab tantangan pangan, gizi, energi, dan lingkungan, demi mewujudkan Indonesia Emas 2045," ungkap Prof. Aman dalam forum akademik di IPB International Convention Centre, Bogor, Senin (9/6/2025). Pernyataan ini menekankan signifikansi Fateta dalam konteks pembangunan nasional.
Prof. Aman menambahkan, ketidaksesuaian akan muncul jika IPB kehilangan Fateta, mengingat IPB dikenal sebagai universitas yang fokus pada pertanian dan pengembangan teknologi. Argumentasi ini menyoroti potensi disrupsi terhadap identitas IPB.
"Persoalannya adalah ketidaksesuaian antara domain teknik dan domain teknologi dalam epistemologi, serta dalam struktur organisasinya," jelas Prof. Aman. Pernyataan ini menunjuk pada perbedaan mendasar antara kedua bidang tersebut.
Menurutnya, jika IPB memiliki visi dan misi yang kuat di bidang agrikultur, Fateta seharusnya tetap dipertahankan, sambil mempertimbangkan kebutuhan pendirian Fakultas Teknik atau School of Engineering. Usulan ini menawarkan solusi kompromi.
"Kita akan terus memperdalam keilmuan kita, fokus pada aspek hulunya. Kita bisa dibentuk, tetapi jangan sampai terbalik. Jadi, di mana rumah kita sekarang?" tanya Rektor IPB periode 1998-2002 ini. Pertanyaan retoris ini menggugah pemikiran tentang identitas dan keberlanjutan Fateta.
Sementara itu, Prof. Florentinus Gregorius Winarno, pendiri sekaligus mantan dekan Fateta, menyampaikan kekhawatiran dan harapan terkait arah yang akan diambil oleh fakultas yang pernah ia bangun. Ungkapan ini mencerminkan ikatan emosional dan tanggung jawab terhadap warisan Fateta.
"Fateta didirikan bukan hanya untuk menghasilkan insinyur, melainkan untuk mencetak pemimpin pertanian global. Saya berupaya membangun dosen-dosen berkelas dunia. Dahulu, kami bahkan mendirikan 17 STM Pembangunan Pertanian yang kini menjadi SMK. Sayangnya, semangat kolaborasi tersebut kini meredup," ujarnya. Pernyataan ini menyoroti visi awal Fateta dan tantangan yang dihadapi saat ini.
Prof. Winarno, yang juga pernah menjabat sebagai President Codex Alimentarius Commission (CAC) periode 1991-1995, mengingatkan bahwa Fateta adalah almamater bagi banyak individu yang dididik dan dibesarkan di sana, bukan sekadar struktur akademik yang dapat diubah tanpa mempertimbangkan nilai historis dan fungsinya. Penekanan ini menggarisbawahi pentingnya menghargai warisan dan kontribusi Fateta.
Wacana perubahan Fateta menjadi Sekolah Teknik merupakan bagian dari rencana strategis IPB untuk mempertegas identitas keilmuan. Namun, sejumlah pihak berpendapat bahwa perubahan ini harus tetap mempertahankan nilai-nilai dasar Fateta sebagai pusat unggulan teknologi pangan dan pertanian tropika. Opini ini menekankan perlunya menjaga keseimbangan antara inovasi dan pelestarian nilai-nilai inti.
Dengan rekam jejak yang diakui secara global dan kontribusinya yang signifikan terhadap sistem pangan nasional, banyak pihak berharap agar transformasi Fateta justru memperkuat posisinya, bukan mengurangi peran strategis yang telah dibangun selama lebih dari enam dekade. Harapan ini mencerminkan aspirasi untuk pengembangan berkelanjutan Fateta.
Di lokasi yang sama, Dekan Fateta IPB, Prof. Slamet Budijanto, menanggapi berbagai kritik terkait transformasi Fateta menjadi sekolah teknik. Beliau meyakinkan bahwa Fateta akan tetap eksis sebagai sebuah rumah, sebagai identitas yang perlu dipertahankan.
"Saya jamin bahwa ilmu yang ada justru akan diperkuat, bukan diperlemah. Saya pastikan itu. Itulah yang bisa saya katakan. Namun, jika ingin memastikan bahwa Fateta tetap ada, saat ini rumahnya masih ada," tegas Prof. Slamet. Pernyataan ini memberikan kepastian sekaligus harapan terkait masa depan Fateta. Liputanku akan terus mengawal perkembangan isu ini.