Isu merger antara PT GoTo Gojek-Tokopedia Tbk (GOTO) dengan Grab, perusahaan teknologi asal Malaysia, kembali mencuat. Terbaru, Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) dikabarkan tertarik untuk menanamkan modalnya pada entitas gabungan GOTO-Grab ini.
Namun, Head of Center of Digital Economy and SMEs di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Izzudin Al-Farras, berpendapat bahwa investasi Danantara pada entitas gabungan GOTO-Grab justru kurang memberikan dampak positif terhadap perekonomian. Menurutnya, keterlibatan Danantara, yang merepresentasikan pemerintah, berpotensi mengurangi daya tarik investasi.
"Seharusnya, peran negara dalam kasus merger ini bukanlah dengan menginvestasikan dana publik melalui Danantara. Investasi dana publik yang terbatas pada perusahaan swasta seperti Goto-Grab tidak akan memberikan nilai tambah yang signifikan bagi perekonomian nasional," tegas Izzudin kepada detikcom, Minggu (8/6/2025).
Izzudin memaparkan bahwa merger GOTO-Grab berpotensi merugikan setidaknya tiga pihak. Pertama, konsumen akan dirugikan karena merger ini akan meningkatkan pangsa pasar perusahaan, sehingga memberikan kekuatan pasar yang sangat besar dalam industri ride hailing.
"Implikasinya, konsumen akan memiliki posisi tawar yang lemah dalam penentuan harga dan pilihan transportasi online yang semakin terbatas. Akibatnya, tarif angkutan online berpotensi melonjak," jelasnya.
Kedua, para pengemudi ojek online (ojol) juga akan terkena dampak negatif. Merger kedua raksasa jasa transportasi digital ini diperkirakan akan menekan pendapatan para pengemudi karena potensi kenaikan biaya komisi aplikator. Sebagai pekerja informal, pengemudi tidak memiliki kekuatan tawar yang memadai terhadap perusahaan.
"Para pengemudi angkutan online hanya memiliki sedikit pilihan untuk berpindah aplikasi demi meningkatkan pendapatan mereka, terutama di tengah penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal," terangnya lebih lanjut.
Ketiga, Izzudin menyoroti bahwa merger Grab-Goto berpotensi menyebabkan peningkatan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di kedua perusahaan. Integrasi operasional perusahaan pasca-merger menjadi penyebab utama kekhawatiran ini.
"Adanya potensi PHK muncul akibat adanya posisi-posisi pekerjaan yang sama dan/atau tumpang tindih di kedua perusahaan tersebut," ungkapnya.
Sebagai kesimpulan, Izzudin menilai bahwa merger Goto-Grab hanya akan menguntungkan sekelompok kecil investor, sementara merugikan banyak pihak, termasuk konsumen, pengemudi angkutan online, dan karyawan. Menurutnya, pemerintah perlu mengambil langkah pencegahan terhadap merger ini.
Mengutip laporan Bloomberg, Danantara dikabarkan sedang menjajaki peluang investasi seiring dengan isu merger GOTO-Grab yang semakin santer. Diketahui bahwa Danantara berada dalam tahap awal diskusi untuk mengakuisisi saham minoritas di entitas gabungan tersebut.
Sebelumnya, Reuters melaporkan bahwa Grab menargetkan kesepakatan merger dapat tercapai pada kuartal II 2025, dengan valuasi GOTO mencapai US$ 7 miliar atau sekitar Rp 114 triliun.
Hingga berita dari ini diturunkan, belum menerima tanggapan resmi dari Danantara maupun GOTO. Sementara itu, Grab Indonesia menolak berkomentar terkait kabar ini. "Kami tidak memiliki komentar mengenai hal ini," demikian pernyataan Manajemen Grab Indonesia kepada detikcom, Sabtu (7/6/2025).