Situs Gunung Padang dan wilayah Sundaland yang hilang menyimpan korelasi erat dengan jejak peradaban manusia. Situs bersejarah Gunung Padang merupakan bagian integral dari Sundaland di era Zaman Es, menjadi saksi bisu perkembangan peradaban yang kini telah sirna.
Keterkaitan mendalam ini menjadi inti diskusi yang pernah dilontarkan oleh Prof. Dr. Danny Hilman Natawidjaja, seorang tokoh dari Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar AIPI dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Beliau menyampaikan pandangannya dalam Seminar Nasional Warisan Peradaban Sundaland, sebuah acara hybrid yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
“Jika kita menelaah sejarah populasi manusia, ada keanehan yang mencolok, terutama setelah sekitar 12 ribu tahun yang lalu. Padahal, kita tahu bahwa manusia modern, Homo sapiens, sudah eksis sejak 200 ribu tahun lalu. Bahkan, jika kita memasukkan Homo neanderthal dan Homo denisovan sebagai manusia modern, maka keberadaan manusia modern sudah mencapai 400 ribu tahun lalu,” ungkap Danny kala itu.
Pengetahuan yang diakui secara global saat ini hanya mengakui bahwa perkembangan peradaban manusia baru dimulai sekitar 12 ribu hingga 11 ribu tahun lalu. Selain itu, produk peradaban maju baru terlihat setelah 6.000 tahun lalu (4000 tahun SM), yang terwakili oleh peninggalan Bangsa Sumeria di Mesopotamia.
Berbeda dengan rentang sejarah yang relatif pendek ini, para ahli geologi dan arkeologi mengetahui bahwa manusia modern telah ada sejak sekitar 200 ribu hingga 195 ribu tahun lalu. Artinya, dunia meyakini bahwa manusia hidup dalam zaman primitif, mengandalkan perburuan dan tinggal di hutan serta gua selama kurang lebih 185 ribu tahun. Namun, secara tiba-tiba, sejak 10.000 tahun lalu, mereka seolah-olah menjadi pintar tanpa sebab yang jelas.
Letusan Toba dan Out of Africa
Penemuan konstruksi bangunan megah yang berusia lebih dari 10.000 tahun, seperti yang ditemukan di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, bertentangan dengan pandangan sejarah manusia yang linear yang diyakini saat ini. Dari sinilah teori siklus peradaban mulai mengemuka.
Hipotesis yang dikembangkan dalam teori siklus peradaban menyatakan bahwa perkembangan peradaban atau kebudayaan di dunia tidaklah linear, melainkan mengikuti siklus.
“Para ilmuwan geosains mengakui bahwa semua proses di alam semesta ini adalah siklus. Bagaimana jika perkembangan manusia juga mengikuti siklus yang sama? Adanya bencana katastrofi dapat menghancurkan atau memulai ulang populasi dan peradaban. Apakah ini yang sebenarnya terjadi? Apakah ada peradaban yang hilang di masa lalu?” tanyanya.
Berkaitan dengan teori ini, terdapat dua bencana katastrofi yang paling terkenal dalam sejarah hidup manusia modern. Pertama, adalah letusan katastrofi Toba sekitar 70 ribu tahun lalu, yang diduga hampir memusnahkan seluruh populasi manusia di dunia.
Peristiwa ini, menurut Danny, selaras dengan kronologi penyebaran manusia di Bumi yang dapat ditelusuri sejak sekitar 70 ribu tahun lalu, yang dikenal sebagai peristiwa ‘Out of Africa’ karena penyebaran manusia dimulai dari Benua Afrika.
“Dalam sejarah manusia, sekitar 70 ribu hingga 65 ribuan tahun yang lalu, terjadi migrasi besar-besaran dari Afrika ke seluruh dunia. Apakah ada kaitan antara letusan Toba dengan Out of Africa? Para ilmuwan geosains dan arkeolog perlu membahas hal ini lebih lanjut,” imbuhnya.
Banjir Besar
Hipotesis yang dikembangkan dalam teori siklus peradaban juga mengemukakan bahwa peradaban atau kebudayaan di dunia berkali-kali terputus atau hancur oleh berbagai bencana alam katastrofi. Akibatnya, peradaban yang sudah maju dapat kembali menjadi primitif dan harus memulai lagi dari awal untuk berkembang.
“Sejarah yang kita yakini saat ini, yang menyatakan bahwa peradaban tertua ada di Mesopotamia sekitar 6 ribuan tahun lalu, menjadi membingungkan setelah ditemukannya situs Gobekli Tepe di Turki yang dibangun sekitar 11.600-an tahun lalu. Artinya, situs ini sudah ada sebelum kita mengenal pertanian, sungguh aneh,” ujar Danny.
Selain letusan Toba, bencana katastrofi lainnya adalah banjir besar. Dalam sejarah Geologi Kuarter, dikenal periode Younger Dryas pada 12.900-11.600 tahun lalu di akhir Zaman Pleistosen. Pada masa ini, Bumi mengalami pemanasan dan es mulai mencair. Younger Dryas diakhiri dengan kenaikan suhu Bumi yang sangat cepat, sehingga es mencair secara mendadak dan menimbulkan banjir global.
“Setelah Younger Dryas, peradaban manusia mulai beranjak maju. Jadi, sejarah yang kita yakini sekarang menyatakan bahwa populasi dan peradaban manusia sejak 200 ribu tahun atau lebih tidak pernah berkembang, selalu primitif, selalu menjadi pemburu dan peramu. Apakah benar demikian? Apakah benar peradaban baru berkembang 12 ribu tahun yang lalu?” tanya Danny dengan nada retoris.
“Menurut teori alternatif siklus, ada peradaban yang hilang pada Zaman Es, sehingga masyarakat Gobekli Tepe bukanlah peramu pemburu yang tiba-tiba menjadi pintar, melainkan sisa-sisa orang yang selamat dari bencana tersebut,” jelasnya.
Peristiwa banjir global pada akhir periode Younger Dryas juga dikaitkan dengan sejumlah kisah banjir besar yang dipercaya di seluruh dunia, mulai dari tenggelamnya Atlantis hingga banjir zaman Nabi Nuh.
“Plato menyebutkan bahwa Atlantis hancur oleh gempa dan banjir besar tepat 11.600 tahun yang lalu. Ada juga catatan banjir Gilgamesh dalam naskah kuno Mesopotamia, yang menyebutkan bahwa di zaman yang lebih kuno lagi terjadi banjir besar. Lalu, kita juga meyakini adanya banjir zaman Nabi Nuh, kemungkinan ini adalah banjir yang sama,” kata Danny.
Lalu, apa kaitannya dengan Gunung Padang dan Sundaland? Situs Gunung Padang adalah bagian dari benua Sundaland pada Zaman Es. Ada pendapat yang menyatakan bahwa benua yang dulunya membentang di Semenanjung Malaysia, termasuk Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Bali, ini diyakini sebagai pusat Atlantis dan menjadi induk peradaban dunia. Sundaland tenggelam akibat naiknya permukaan laut di Zaman Es akhir.
“Gunung Padang menjadi istimewa dalam kaitannya dengan hal ini, karena dibangun sejak Zaman Es, kemudian dibangun lagi setelah Zaman Es. Jadi, situs ini melewati dua periode peradaban,” pungkas Danny.