Haji Lansia: Pendamping Wajib Pakta Integritas?

Admin

23/06/2025

3
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Berdasarkan data yang tercatat dalam Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), diperkirakan jumlah jemaah haji lanjut usia (lansia) pada musim haji tahun 2025 mencapai angka 44.100 orang.

Namun, perlu menjadi perhatian bahwa jumlah petugas haji yang secara khusus ditugaskan untuk memberikan pelayanan kepada jemaah haji lansia dan penyandang disabilitas hanya berjumlah 183 orang.

Situasi ini tentu saja menimbulkan tantangan tersendiri dan akan sulit diatasi jika petugas haji bekerja tanpa dukungan. Oleh karena itu, peran pendamping lansia menjadi sangat krusial dalam memastikan keamanan dan kenyamanan jemaah haji lansia, mulai dari saat keberangkatan hingga nanti kembali ke tanah air.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA), Arifatul Choiri Fauzi, yang juga merupakan anggota Amirul Hajj, menemukan adanya indikasi bahwa sejumlah pendamping jemaah haji lansia belum sepenuhnya menjalankan kewajiban mereka dengan optimal.

Dalam percakapan dengan petugas haji, terungkap bahwa ada kasus di mana anak dari jemaah lansia yang seharusnya didampingi justru meninggalkan orang tuanya karena merasa sudah ada petugas yang siap membantu.

“Anaknya memilih untuk pergi sendiri dan menyerahkan sepenuhnya kepada petugas. Padahal, tugas petugas adalah membantu, bukan mengambil alih semua tanggung jawab,” ungkap Arifatul saat ditemui di Bandara Internasional King Abdulaziz Jeddah, pada hari Selasa (10/6/2025).

Guna mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang, Arifatul mengusulkan agar para pendamping lansia diwajibkan untuk menandatangani pakta integritas. Langkah ini diharapkan dapat menjadi jaminan bahwa yang bersangkutan tidak akan meninggalkan jemaah haji yang menjadi tanggung jawabnya.

Selain itu, ia juga mengimbau kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga lansia dengan kondisi fisik yang lemah dan keterbatasan gerak agar mempertimbangkan kembali niat untuk memberangkatkan orang tuanya berhaji. Mengingat, ibadah haji adalah ibadah fisik yang menuntut kondisi kesehatan yang prima dan menguras banyak energi.

“Jika sudah sangat lanjut usia, bahkan untuk buang air kecil saja membutuhkan bantuan. Tidak bisa mandi sendiri, makan pun harus di tempat tidur, tentu ini sangat memprihatinkan,” tutur Arifah.

“Bagi keluarga-keluarga yang mungkin anggota keluarganya sudah mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sebaiknya dipertimbangkan untuk membadalkan saja. Nilai ibadahnya pun sama,” imbuhnya.

Arifah juga memberikan sorotan terhadap penerapan konsep istitoah. Menurutnya, penafsiran tentang istitoah, yang secara harfiah berarti kemampuan, tidak seharusnya hanya dipertimbangkan dari sudut pandang kemampuan finansial atau materi semata.

“Padahal, istitoah itu seharusnya tidak hanya mencakup kemampuan materi, tetapi juga kekuatan fisik, karena ibadah haji pada dasarnya adalah ibadah yang membutuhkan kekuatan fisik,” tegas Arifah.

Ia berharap agar isu istitoah ini dapat menjadi bahasan khusus dalam pembahasan teknis selanjutnya. “Sejauh mana seseorang layak untuk berangkat, tidak hanya dilihat dari segi materi, tetapi juga dari kekuatan fisiknya,” jelas Arifah.

Wacana mengenai pengaturan ulang istitoah juga sempat disinggung oleh Wakil Kepala BP Haji, Dahnil Anzar Simanjuntak, beberapa waktu lalu. Beliau menilai bahwa masih banyak jemaah haji yang menggunakan data kesehatan yang kurang akurat.

Menurut data dari Siskohat, hingga hari ini, tercatat 218 jemaah haji Indonesia yang meninggal dunia di Tanah Suci. Mayoritas dari mereka adalah laki-laki, dengan persentase mencapai 63,8 persen.

Dari total jemaah yang meninggal, sebanyak 56,4 persen adalah lansia dengan kategori usia di atas 65 tahun. Tingkat kematian tertinggi terjadi pada tanggal 8 Juni 2025, dengan jumlah kematian mencapai 15 orang dalam satu hari.

Jika dibandingkan dengan tahun 2024, tren jumlah kematian jemaah haji cenderung mengalami peningkatan pada tahun ini.

Kondisi ini juga sempat menjadi perhatian Menteri Kesehatan Arab Saudi, Fahad bin Abdurrahman Al-Jalajel. Dalam diskusi dengan rombongan delegasi Amirul Hajj Indonesia beberapa waktu lalu, beliau meminta agar Indonesia lebih memperketat persyaratan kesehatan bagi seluruh calon jemaah haji sebelum keberangkatan.