Anggota DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), menyampaikan bahwa peringatan Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni adalah sebuah momentum krusial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Momen ini mengajak kita untuk kembali merenungkan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam ideologi bangsa kita.
Di era digital yang serba cepat ini, arus informasi bergerak dengan sangat deras. Situasi ini menghadirkan tantangan yang semakin kompleks dalam upaya mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, Bamsoet sangat menganjurkan agar nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila dapat diinternalisasikan dalam setiap interaksi yang terjadi di ruang digital.
“Perayaan Hari Lahir Pancasila seharusnya tidak sekadar menjadi sebuah seremoni belaka. Akan tetapi, harus menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali peran masing-masing individu dalam menjaga persatuan bangsa, terutama di ruang digital yang kini telah menjadi medan perjuangan nilai yang baru. Merayakan Pancasila berarti menanamkan semangat persatuan dalam setiap algoritma kehidupan sehari-hari. Meskipun kita berbeda suku, agama, pilihan politik, atau preferensi budaya, kita tetaplah satu bangsa, satu Tanah Air, dan satu bahasa: Indonesia,” tegas Bamsoet dalam keterangannya, Minggu (1/6/2025).
Ketua MPR ke-15 ini juga menjelaskan bahwa era digital telah membawa dampak signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai lebih dari 215 juta jiwa, atau sekitar 78% dari total populasi Indonesia.
Angka tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia saat ini hidup dan berinteraksi di ruang digital. Menurutnya, dunia maya bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan telah menjadi ruang utama di mana ideologi, opini, dan identitas dibentuk serta disebarluaskan.
Namun demikian, Bamsoet menilai bahwa kemajuan teknologi juga membawa tantangan yang serius bagi persatuan bangsa. Polarisasi politik, penyebaran berita bohong (hoaks), ujaran kebencian, dan meningkatnya intoleransi berbasis agama, etnis, maupun pandangan politik sering kali bermula dan berkembang pesat di media sosial.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, terdapat ribuan laporan mengenai konten negatif yang menyebar di berbagai platform digital. Hal ini semakin menegaskan bahwa tantangan dalam menjaga persatuan menjadi semakin mendesak untuk diatasi.
“Fenomena ‘echo chamber’ dan algoritma yang cenderung menyajikan informasi sesuai dengan preferensi pengguna telah mempersempit ruang dialog dan memperlebar jurang perbedaan. Dalam konteks ini, nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ketiga yaitu ‘Persatuan Indonesia’, menjadi sangat relevan untuk kembali kita tegakkan, terutama di dunia digital,” jelas Bamsoet.
Bamsoet juga menyoroti tantangan lain yang perlu dicermati, yaitu ancaman disinformasi yang berasal dari luar negeri dan dimanfaatkan untuk mengganggu stabilitas nasional. Dalam konteks geopolitik global, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia memiliki posisi yang strategis, dan ruang digital Indonesia bukanlah ruang yang steril.
“Oleh karena itu, meneguhkan nilai-nilai Pancasila, khususnya semangat persatuan, juga menjadi bagian penting dari ketahanan nasional di era digital. Ketahanan ini hanya akan kokoh apabila masyarakat memiliki kesadaran kolektif bahwa identitas digital kita adalah bagian tak terpisahkan dari identitas kebangsaan,” ucap Bamsoet.
Lebih lanjut, Bamsoet menambahkan bahwa seluruh elemen bangsa harus memainkan peran aktif dalam merajut persatuan di era digital ini. Sebab, setiap individu, terutama generasi muda yang mendominasi demografi pengguna internet, memiliki peran yang sangat vital sebagai penjaga nilai-nilai Pancasila.
Bamsoet mengungkapkan bahwa dalam setiap unggahan, komentar, dan interaksi daring, selalu ada ruang untuk merefleksikan apakah tindakan tersebut justru memperkuat atau malah merusak nilai-nilai persatuan. Sebab, nasionalisme di era digital bukan lagi tentang berdiri di medan perang, melainkan tentang menjaga ruang digital dari perpecahan, melindungi wacana dari kebencian, dan merawat kebhinekaan melalui literasi dan etika bermedia.
“Pengajaran Pancasila tidak cukup hanya melalui buku teks dan hafalan sila, melainkan harus melalui pendekatan yang kontekstual dan kreatif. Misalnya melalui film pendek, vlog edukatif, atau kampanye media sosial yang memuat narasi kebangsaan. Sejumlah komunitas daerah telah memulai inisiatif ini dengan memproduksi konten edukatif berbahasa daerah untuk memperkuat jati diri lokal sambil menjembatani rasa kebangsaan. Inilah bentuk nyata dari semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang hidup di dunia maya,” pungkasnya.