Liputanku, Jakarta – Hari Tasyrik, sebuah periode penting dalam kalender Hijriah, hadir tepat setelah perayaan Idul Adha. Lebih spesifik, Hari Tasyrik meliputi tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Istilah ‘Tasyrik’ sendiri berasal dari akar kata ‘syarraqa’ dalam bahasa Arab, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘matahari terbit’ atau ‘menjemur sesuatu’.
Terdapat dua pandangan utama yang menjelaskan asal-usul penamaan ‘Tasyrik’. Pertama, berkaitan dengan praktik menjemur daging kurban. Kedua, mengacu pada pelaksanaan ibadah kurban yang dilakukan setelah matahari terbit.
Pada zaman Rasulullah SAW, praktik menjemur daging kurban yang melimpah adalah hal yang umum untuk tujuan pengawetan. Tradisi inilah yang kemudian mengilhami penamaan hari-hari tersebut sebagai Hari Tasyrik. Lebih lanjut, proses penyembelihan hewan kurban yang lazimnya dilakukan setelah matahari terbit juga menjadi dasar lain dari penamaan tersebut. Jadi, Hari Tasyrik memiliki signifikansi khusus bagi umat Islam, terutama bagi mereka yang sedang menjalankan ibadah haji.
Hari Tasyrik lebih dari sekadar rentetan hari setelah Idul Adha. Ia adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah SWT. Dalam kaitan ini, terdapat beberapa rambu-rambu, baik berupa larangan maupun anjuran, yang sebaiknya diperhatikan oleh setiap Muslim.
Selama Hari Tasyrik, umat Islam dilarang untuk berpuasa. Larangan ini dikecualikan bagi mereka yang tidak mampu memperoleh hewan kurban saat menunaikan ibadah haji. Esensi dari larangan ini adalah bahwa Hari Tasyrik adalah momentum untuk menikmati hidangan dan memanjatkan syukur kepada Allah SWT atas rezeki yang diberikan.
Di samping larangan, terdapat pula sejumlah amalan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan pada hari-hari yang penuh berkah ini.
Hari Tasyrik menyimpan makna mendalam sebagai kelanjutan dari semangat Idul Adha. Ini adalah kesempatan emas untuk merenungkan kembali esensi dari ibadah kurban dan ketaatan total kepada Allah SWT, sekaligus berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Hari Tasyrik juga menjadi momen krusial bagi para jamaah haji. Ia menandai selesainya rangkaian ibadah haji di Mina, sebelum akhirnya kembali ke Mekkah untuk melaksanakan thawaf wada’ (thawaf perpisahan).
Hari-hari Tasyrik diwarnai dengan seruan untuk bersyukur, beribadah dengan khusyuk, dan berbagi dengan sesama. Memahami kedalaman makna dan amalan yang dianjurkan selama Hari Tasyrik akan menuntun kita untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mempererat tali persaudaraan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Hari Tasyrik bukanlah sekadar hari biasa, melainkan hari yang memiliki keistimewaan tersendiri bagi seluruh umat Islam.