JAKARTA, MasterV – Majapahit, sebuah kerajaan yang sangat berpengaruh di Nusantara antara tahun 1293 hingga 1527, ternyata telah memiliki sistem hukum yang komprehensif, termasuk di dalamnya jaminan perlindungan bagi kaum perempuan terhadap hak-hak mereka di hadapan suami.
Perlindungan terhadap perempuan ini tercantum secara rinci dalam teks perundang-undangan yang dikenal dengan sebutan “?gama” (yang selanjutnya akan kita sebut sebagai “Agama”).
Menurut Titi Surti Nastiti, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang tergabung dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam disertasinya yang berjudul "Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII-XV Masehi)", kitab tersebut kemudian diterbitkan ulang oleh JCG Jonker sebagai sebuah disertasi pada tahun 1885.
“(Diatur) Bagaimana seorang wanita memiliki hak untuk menggugat suaminya jika sang suami impoten, sehingga ia berhak menuntut perceraian. Hal seperti ini diatur dalam undang-undang Majapahit,” ungkap Titi saat dihubungi oleh MasterV pada hari Jumat, 28 Mei 2025.
Titi menjelaskan, kitab undang-undang yang terdiri dari 272 pasal tersebut memuat bab khusus mengenai "tukon", yaitu hak seorang gadis untuk menerima sejumlah uang atau barang dari calon mempelai pria sebagai simbol ikatan (lamaran).
BRIN Arkeolog BRIN, Titi Surti Nastiti (Dok situs web BRIN)
Bab ini mengatur secara mendetail ketentuan mengenai pemberian tukon serta denda yang akan dikenakan apabila perjanjian antar calon mempelai dilanggar.
Lebih lanjut, bab tersebut juga menggarisbawahi hak seorang wanita yang mendapati suaminya impoten atau mengidap budug (kudis), penyakit kulit gatal yang disebabkan oleh scabies.
Kitab tersebut menjelaskan bahwa seorang gadis yang belum pernah berhubungan badan dengan suaminya, dan saat tidur bersama tidak mengetahui bahwa suaminya menderita penyakit yang menghalangi mereka untuk melakukan hubungan suami istri.
Penyakit-penyakit tersebut meliputi impoten, ketidakmampuan untuk berhubungan badan, kenyataan bahwa suaminya bukan laki-laki sejati, menderita budug di area perut, paha, atau pantat, serta penyakit yang tidak terlihat secara kasat mata seperti ayan atau gila.
“Dalam kondisi seperti itu, sang gadis berhak untuk membatalkan perkawinannya, dan pihak suami wajib mengembalikan tukon tanpa penggandaan,” demikian bunyi ketentuan dalam bab tersebut.
Titi menambahkan, sungguh luar biasa bahwa pada era Majapahit, undang-undang telah mengatur hak-hak perempuan dalam perkawinan.
“Bisakah Anda bayangkan, pada zaman sekarang, seorang istri bisa menggugat cerai suaminya karena impoten? Tidak mungkin, bukan? Namun, undang-undang seperti itu sudah ada sejak zaman Majapahit,” kata Titi.
Hukuman bagi Pasangan yang Mengkhianati Lamaran
Selain membahas hak-hak dalam hubungan seksual, bab tukon juga mengatur sanksi bagi pihak yang mengkhianati pertunangan.
Sebagai contoh, pada bagian awal dijelaskan bahwa ketika orang tua gadis telah menerima tukon dari pihak pria, dan tanggal pernikahan telah disepakati, pihak pria menunggu janji dari orang tua gadis.
Namun, jika waktu yang dijanjikan tidak kunjung tiba karena orang tua gadis menikahkan anaknya dengan orang lain, maka orang tua tersebut akan dikenakan hukuman.
“Jumlah tukon harus dikembalikan dua kali lipat, dan orang tua gadis akan didenda empat laksa oleh raja yang berkuasa,” demikian tertulis dalam kitab Agama.
Bab tersebut juga mengatur bahwa jika seorang wanita menolak untuk berhubungan badan dengan suaminya karena tidak mencintainya, maka tukon yang telah ia terima harus dikembalikan dua kali lipat.
Selanjutnya, jika seorang gadis menerima tukon tetapi kemudian menikah dengan pria lain karena cinta, sementara ayahnya tidak melakukan apa pun dan bahkan menikahkan putrinya, tindakan tersebut dianggap sebagai menikahkan gadis yang dilarang.
“Seluruh tukon dari pelamar pertama harus dikembalikan dua kali lipat, dan ayah dari gadis tersebut akan didenda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Hal ini disebut amadal tukon. Pasangan suami istri yang menikah juga akan dikenakan denda masing-masing empat laksa oleh sang prabu,” bunyi kitab Agama.
Selain itu, diatur pula bahwa jika seorang gadis yang telah menerima tukon meninggal dunia, maka tukon tersebut tidak perlu dikembalikan.
Bab tukon juga membahas tentang perampasan kehormatan. Hal ini terjadi ketika seorang gadis telah menerima tukon dari seorang pemuda dan tanggal pernikahan telah disetujui, namun gadis tersebut ternyata telah berhubungan badan dengan pemuda yang menyerahkan tukon kepada keluarganya.
“Perbuatan pemuda itu sama dengan merampas kehormatan, karena ia tidak mampu menepati janjinya,” demikian bunyi kitab Agama.
“Tukon tersebut menjadi tidak berguna dan hilang. Ayah dari gadis tersebut tidak perlu mengembalikan tukon. Pemuda itu akan dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Demikianlah ajaran bagawan Bharggawa,” lanjut kitab tersebut.
Kitab Agama juga mengatur bahwa jika seorang gadis menerima tukon dari seorang pemuda, tetapi pemuda itu meninggal dunia dan ia memiliki adik laki-laki, maka sang gadis diperbolehkan untuk menikah dengan adik laki-laki tersebut.
“Gadis itu disebut ‘dewahara’, sedangkan adik laki-laki dari pemuda yang telah mati disebut ‘wereh wereh’,” bunyi kitab Agama.