Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menerapkan skema *murur* dan *tanazul* pada penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana sebenarnya hukum menjalankan skema yang memungkinkan jemaah haji tidak *mabit* di Muzdalifah dan Mina tersebut?
Perlu diketahui, skema *murur* mulai diimplementasikan pada tahun 2024 sebagai solusi untuk mengurangi kepadatan di area Muzdalifah. Keterbatasan lahan di Muzdalifah menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam menerapkan skema *murur*, khususnya bagi jemaah haji lanjut usia (lansia), penyandang disabilitas, dan mereka yang memiliki risiko kesehatan tinggi.
Menurut Mustasyar Diny PPIH, KH M Ulinnuha, pelaksanaan skema *murur* dan *tanazul* ini diperbolehkan berdasarkan perspektif fikih haji. Beliau menegaskan bahwa dengan mengikuti skema ini, ibadah haji tetap dianggap sah.
Dalam implementasinya, jemaah haji yang termasuk dalam skema *murur* akan diangkut menggunakan bus dari Arafah langsung menuju Mina. Dengan demikian, jemaah hanya melewati Muzdalifah tanpa turun dari bus, langsung menuju lokasi di Mina yang telah ditentukan.
Ulinnuha menjelaskan bahwa *mabit* di Muzdalifah memang termasuk dalam rangkaian wajib haji. Akan tetapi, bagi jemaah yang memiliki kondisi fisik tertentu, lanjut usia, atau alasan syar’i lainnya, diperbolehkan untuk tidak bermalam di Muzdalifah.
“Dalam sebuah riwayat sahih, sejumlah sahabat yang memiliki tugas memberi makan, menggembala ternak, atau perempuan yang khawatir datang bulan lebih awal, diberikan izin oleh Nabi Muhammad SAW untuk tidak *mabit* di Muzdalifah,” terang Ulinnuha di Makkah, pada hari Jumat (30/5/2025).
Beliau melanjutkan bahwa mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum *mabit* di Muzdalifah adalah sunnah. Oleh karena itu, pelaksanaan *murur* diperbolehkan, dan ibadah haji tetap sah tanpa dikenakan *dam*.
“Salah satu fatwa dari ulama Mesir menyatakan bahwa *murur* diperbolehkan karena secara logistik tidak memungkinkan bagi jutaan jemaah untuk berada di Muzdalifah pada waktu yang bersamaan. Inilah yang menjadi landasan bagi PPIH untuk menerapkan skema ini secara selektif, terutama bagi jemaah lansia, penyandang disabilitas, dan jemaah yang memiliki *uzur*,” jelasnya.
Kemenag menargetkan sekitar 50 ribu jemaah haji akan diikutsertakan dalam skema *murur*. Harapannya, langkah ini dapat mengurangi kepadatan di Muzdalifah, sehingga mempermudah pergerakan jemaah menuju Mina.
Selain *murur*, PPIH juga menerapkan skema *tanazul* pada penyelenggaraan haji tahun ini. Jemaah yang mengikuti skema *tanazul* akan diperbolehkan pulang lebih awal ke hotel di Makkah setelah menyelesaikan prosesi lempar jumrah *aqobah*.
“Skema *tanazul* juga didasarkan pada pendapat Mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa *mabit* di Mina hukumnya sunnah. Oleh karena itu, jemaah yang memilih untuk langsung kembali ke hotel tidak dikenakan *dam* dan ibadah hajinya tetap sah,” imbuh Ulinnuha.
Kemenag memperkirakan sekitar 30.000 jemaah, khususnya mereka yang menginap di hotel-hotel di sektor Syisyah dan Raudhah, akan mengikuti skema *tanazul*. Jemaah yang mengikuti *tanazul* tidak akan kembali ke tenda di Mina setelah melaksanakan lempar jumrah pada tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah.
“Kita semua berharap agar seluruh rangkaian ibadah haji tahun ini dapat berjalan dengan lancar. Mari kita senantiasa menjaga niat, kesehatan, dan kekhusyukan, serta memohon kepada Allah SWT agar kita semua dikaruniai haji yang mabrur,” pesan Ulinnuha.
Pergerakan jemaah haji menuju Arafah akan dimulai pada tanggal 8 Zulhijah, yang bertepatan dengan hari Rabu, 4 Juni. Sementara itu, pelaksanaan wukuf akan dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah, atau bertepatan dengan hari Kamis, 5 Juni.