JAKARTA, MasterV – Para nelayan di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, menyampaikan keluh kesah mengenai penurunan hasil tangkapan ikan yang diduga disebabkan oleh penggunaan pukat harimau atau trawl.
"Akibatnya, hasil tangkapan jaring nelayan tradisional sangat minim," ungkap Surya (48), Ketua Nelayan Tradisional Kalibaru, Cilincing, saat ditemui Liputanku pada Senin (9/6/2025) di lokasi.
Pukat harimau, atau trawl, lazimnya digunakan oleh kapal-kapal berukuran besar.
Namun demikian, terdapat juga perahu-perahu kecil yang menggunakan pukat harimau dengan ukuran jaring yang lebih kecil, yang sering disebut sebagai arat.
Perahu-perahu yang menggunakan arat inilah yang seringkali menimbulkan konflik dengan nelayan tradisional.
"Seringkali saat menebar jaring sekitar pukul 17.00 WIB, yang mana seharusnya arat sudah berhenti beroperasi, mereka masih saja menarik jaring," tutur Surya.
Surya menambahkan bahwa ruang gerak nelayan tradisional dalam mencari ikan atau rajungan menjadi semakin terbatas.
Tidak jarang, perahu-perahu yang menggunakan arat tersebut memotong jaring milik nelayan tradisional.
"Bagaimana nelayan tradisional tidak kehilangan hasil tangkapan, ketika jaring yang baru ditebar seringkali terkena arat, dipotong, hanyut, dan hilang," jelas Surya.
Jika tertangkap tangan, jaring yang dirusak tersebut akan diganti rugi oleh pihak perahu yang menggunakan arat.
Akan tetapi, jika tidak diketahui, jaring nelayan seringkali hilang dan rusak tanpa pertanggungjawaban.
Padahal, untuk membeli satu jaring saja, nelayan harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 1,5 juta.