Tarif AS: Industri Logam RI Siap Hadapi Tantangan?

Admin

15/06/2025

5
Min Read

On This Post

Kebijakan yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS), berupa kenaikan tarif impor baja dan aluminium hingga mencapai 50% yang berlaku efektif sejak 5 Juni 2025, adalah sebuah tindakan proteksionisme yang memerlukan perhatian khusus. Walaupun kebijakan ini tidak secara langsung menyasar Indonesia, namun diperkirakan akan memberikan dampak tidak langsung terhadap industri baja dan aluminium di tingkat nasional.

Oleh karena itu, analisis yang mendalam serta respons strategis yang adaptif sangat diperlukan dalam menghadapi kebijakan baru yang diterapkan oleh negara adidaya tersebut.

Distorsi pada Pasar Global

Kenaikan tarif yang diberlakukan oleh AS ini berpotensi menciptakan distorsi yang signifikan pada pasar global. Dengan adanya hambatan sebesar 50% untuk memasuki pasar AS, para eksportir baja dan aluminium dari negara-negara produsen utama, terutama Tiongkok, kemungkinan besar akan mencari alternatif pasar.

Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menjadi target yang logis untuk pengalihan ekspor tersebut. Potensi terjadinya banjir impor baja dan aluminium dengan harga yang lebih murah di pasar domestik Indonesia menjadi ancaman nyata yang dapat memberikan tekanan besar pada produsen lokal.

Perbedaan harga yang cukup mencolok antara baja AS (US$ 984/ton) dan Tiongkok (US$ 392/ton) pada bulan Maret 2025 menggarisbawahi betapa rentannya perdagangan baja. Apabila produk-produk asing yang lebih murah membanjiri pasar, daya saing produk baja dan aluminium Indonesia di pasar domestik maupun internasional diperkirakan akan mengalami penurunan.

Fenomena ini, apabila tidak diantisipasi dengan baik, berpotensi mengakibatkan penurunan volume produksi, kerugian finansial, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri strategis ini.

Disrupsi pada Rantai Investasi

Dampak tidak langsung juga meluas ke ranah rantai pasok serta iklim investasi. Industri aluminium Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap impor bahan baku utama, seperti bauksit. Kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh AS ini berpotensi mengganggu stabilitas pasar komoditas global, yang pada gilirannya dapat meningkatkan biaya impor bahan mentah bagi para produsen di Indonesia.

Kenaikan harga bahan baku akan memberikan beban pada biaya produksi dan mengurangi margin keuntungan. Dari sisi investasi, ketidakpastian dalam perdagangan global yang diakibatkan oleh tarif AS dapat mengikis minat investasi asing di sektor logam Indonesia.

Para investor, khususnya dari negara-negara yang terkena dampak pembalasan (misalnya Kanada, Meksiko), mungkin akan bersikap lebih hati-hati. Bahkan, ada kemungkinan mereka akan secara agresif mencari pasar baru di luar Asia Tenggara serta mengurangi aliran modal yang sangat dibutuhkan untuk modernisasi dan ekspansi industri.

Lanjut ke halaman berikutnya

Tantangan Ekspor Akibat Proteksi

Walaupun Indonesia bukanlah eksportir utama baja ke AS, penutupan akses pasar AS bagi negara lain akan memperketat persaingan di pasar ekspor non-AS. Negara-negara yang terdampak oleh tarif AS mungkin akan mengalihkan fokus ekspor mereka ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sehingga menciptakan persaingan yang lebih ketat bagi produk-produk Indonesia.

Lebih lanjut, apabila Uni Eropa atau negara lain membalas tarif AS dengan kebijakan proteksionisme serupa, Indonesia berisiko terkena efek domino. Produk ekspor Indonesia bisa terkena dampak jika negara-negara lain menganggap Indonesia “mengambil keuntungan” dari disrupsi pasar, yang memicu pembalasan yang tidak diinginkan.

Implikasi pada Industri Pengguna

Dampak kenaikan tarif ini juga akan merambat ke industri pengguna baja dan aluminium di dalam negeri. Sektor-sektor vital seperti konstruksi, otomotif, dan manufaktur kemasan di Indonesia sangat bergantung pada pasokan baja dan aluminium, baik dari produksi dalam negeri maupun impor.

Gangguan pada pasokan global, ditambah dengan potensi kenaikan harga bahan baku impor, dapat meningkatkan biaya produksi, yang pada akhirnya akan memicu inflasi pada produk akhir seperti mobil, kaleng makanan, dan peralatan rumah tangga.

Pengalaman di tahun 2018, di mana tarif AS menyebabkan lonjakan harga baja global sebesar 6-20%, menjadi preseden yang patut diwaspadai, mengingat dampaknya pada proyek-proyek infrastruktur padat baja di Indonesia.

Respons Strategis yang Solutif

Dalam menghadapi kompleksitas dan risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif AS ini, industri dan pemerintah Indonesia harus merumuskan respons strategis yang proaktif dan adaptif. Hal ini mencakup keharusan untuk secara agresif melakukan diversifikasi pasar ekspor ke kawasan non-AS guna mengurangi ketergantungan pada pasar yang rentan terhadap proteksionisme.

Selain itu, investasi perlu didorong dalam peningkatan daya saing industri lokal melalui efisiensi produksi, modernisasi teknologi, dan inovasi produk untuk mengeliminasi ketergantungan pada impor bahan baku dan meningkatkan kapabilitas bersaing.

Secara paralel, penguatan instrumen kebijakan perdagangan domestik menjadi krusial untuk melindungi pasar dari praktik dumping. Dukungan diplomasi perdagangan aktif di forum regional dan multilateral juga sangat diperlukan untuk menolak kebijakan perdagangan yang tidak adil dan membangun aliansi strategis.

Terakhir, kebijakan juga harus mencakup dukungan terukur pada industri hilir untuk membantu adaptasi terhadap potensi kenaikan biaya bahan baku melalui integrasi rantai pasok domestik dan diversifikasi sumber pasokan, sehingga secara komprehensif memitigasi dampak negatif dan mengoptimalkan peluang di tengah gejolak ekonomi global.

Sebagai kesimpulan strategis yang adaptif, kenaikan tarif baja dan aluminium AS bukan hanya sekadar isu bilateral, melainkan katalis yang akan mendefinisikan ulang dinamika perdagangan global. Industri baja dan aluminium Indonesia, meskipun tidak menjadi sasaran utama, akan menghadapi risiko tidak langsung yang signifikan melalui distorsi pasar, gangguan rantai pasok, dan eskalasi proteksionisme.

Namun, dengan respons strategis yang terukur, adaptif, dan berbasis data, Indonesia tidak hanya dapat memitigasi dampak negatif, tetapi juga mengukuhkan posisinya sebagai pemain kunci dalam rantai pasok global.

Implementasi kebijakan yang berorientasi pada daya saing lokal, diversifikasi pasar, dan diplomasi aktif adalah keharusan untuk memastikan keberlanjutan dan pertumbuhan industri baja dan aluminium di tengah gejolak ekonomi global.

Rioberto Sidauruk Tenaga Ahli AKD Komisi VII DPR RI.