Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan kini menjadi sorotan tajam dan menuai berbagai kritik. Regulasi yang digadang-gadang sebagai fondasi penguatan sistem kesehatan nasional, justru dianggap kurang optimal dalam koordinasi antar kementerian. Hal ini dikhawatirkan dapat memicu dampak luas yang berpotensi merugikan berbagai sektor, terutama industri strategis seperti tembakau dan makanan-minuman. Beberapa pasal dalam PP 28/2024 mengatur pembatasan konsumsi Gula-Garam-Lemak (GGL), serta larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan iklan rokok di luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Kebijakan ini kemudian melahirkan kekhawatiran yang beralasan, sebab dinilai dapat mengancam keberlangsungan ekosistem industri yang melibatkan jutaan tenaga kerja, mulai dari petani, buruh pabrik, hingga pedagang kecil.
Minimnya koordinasi lintas kementerian menjadi perhatian utama Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia. Beliau menekankan betapa pentingnya sinergi dalam merumuskan kebijakan yang melibatkan berbagai sektor. "PP 28/2024 ini sebenarnya ketentuan yang bisa meredam ego sektoral dari satu kementerian ke kementerian lain dan bagaimana pemerintah kita membuat aturan yang lebih adil. Adil bagi para pelaku usahanya, perkebunan sebagai suatu industri strategis di Indonesia, perusahaan-perusahaan rokok, dan adil juga bagi konsumen," ungkap beliau dalam keterangannya pada Jumat (30/5/2025). Dengan kata lain, regulasi yang ideal seharusnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang justru kontraproduktif.
Beliau menambahkan, "Kementerian Kesehatan (Kemenkes) walaupun mereka akan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), tapi harus berkoordinasi dengan kementerian-kementerian lainnya. Nah, di sinilah pentingnya Menteri Koordinator (Menko). Menko sekarang sudah ada beberapa Menko itu harus bisa memastikan bahwa kepentingan kita, kepentingan kementerian-kementerian itu semua terakomodasi," tegasnya. Selain PP 28/2024, isu lain yang tak kalah kontroversial adalah rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging). Rencana ini tengah digodok dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai turunan dari PP 28/2024. Kebijakan ini dinilai berpotensi merusak ekosistem pertembakauan nasional. Dampaknya pun diprediksi akan meluas, mulai dari meningkatnya peredaran rokok ilegal hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor hilir. Bahkan, kebijakan ini disebut-sebut mengadopsi prinsip dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang secara resmi tidak diratifikasi oleh Indonesia, sehingga memicu kekhawatiran akan adanya intervensi asing dalam perumusan kebijakan domestik.
Kritik pedas juga datang dari Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, yang menyoroti potensi cacat prosedural dalam penyusunan PP 28/2024. "Kalau misalnya terbukti PP (28/2024) dibuat tanpa ada partisipasi. Ya berarti secara prosedur cacat. Berarti dibatalkan, secara formilnya tidak terpenuhi. Cacat. Itu kita belum bicara substansi loh," tegas Eddy Hiariej. Beliau mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk mengambil langkah hukum melalui uji materiil dan formil (Judicial Review) ke Mahkamah Agung (MA). Jika terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, PP 28/2024 berpotensi dibatalkan secara hukum.