JAKARTA, MasterV – Pengembangan sektor air minum melalui jaringan perpipaan di Indonesia menghadapi tantangan serius terkait keterbatasan sumber pendanaan.
"Alokasi anggaran untuk Kementerian Pekerjaan Umum mengalami penurunan signifikan, terutama yang dialokasikan untuk sektor air minum dan sanitasi," ungkap Ketua Umum Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi), Arief Wisnu Cahyono, dalam sebuah konferensi pers yang diadakan di Jakarta Timur, pada hari Senin (09/06/2025).
Guna mengatasi kesenjangan dalam pembiayaan ini, pemerintah mulai berupaya mendorong partisipasi investor. Akan tetapi, pendekatan ini bukan tanpa kendala, mengingat air minum merupakan kebutuhan pokok, bukan sekadar komoditas bisnis. Disparitas tarif antar-wilayah juga menjadi permasalahan tersendiri.
"Seberapa menarik sektor air minum ini bagi para investor? Ini menjadi tantangan besar yang perlu dipecahkan. Sebab, pada akhirnya investor akan mempertimbangkan Internal Rate of Return (IRR), sementara tarif air minum yang berlaku saat ini tidak memungkinkan hal tersebut secara merata," jelasnya lebih lanjut.
Wisnu menambahkan bahwa pemerintah memiliki rencana untuk melakukan standardisasi tarif air minum secara nasional.
Namun, berbeda dengan sektor-sektor lain yang menerima subsidi, sektor air minum selama ini hanya mengandalkan subsidi silang yang berasal dari pelanggan kelas menengah atas yang dialokasikan ke kelompok sosial.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Umum Perpamsi, Rino Indira Gusniawan, menegaskan pentingnya keterlibatan pihak swasta, namun tetap dengan peran negara yang dominan.
"Jika peran swasta terlalu dominan, kami khawatir sektor air minum akan menjadi rentan. Air minum adalah kebutuhan vital masyarakat luas, sehingga pemerintah wajib hadir di dalamnya," ujarnya.
Ia mengambil contoh Kota Surabaya di Jawa Timur sebagai contoh keberhasilan investasi jangka panjang yang telah direncanakan dengan matang.
"Jika tidak diantisipasi sejak dini, biaya yang dibutuhkan akan semakin besar. Bahkan bisa mencapai lebih dari Rp 15 juta per sambungan akibat inflasi. Hal ini akan terus membebani anggaran pemerintah jika sektor ini tidak ditangani dengan serius," tegasnya.