JAKARTA, MasterV – Pemerintah secara resmi telah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, pada hari Selasa, 10 Juni 2025.
Keempat IUP yang dicabut tersebut adalah milik PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Prakasa, dan PT Nurham, yang semuanya bergerak di bidang pertambangan nikel.
Menurut pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, salah satu alasan utama pencabutan izin ini adalah karena adanya pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh keempat perusahaan tersebut.
“Pertama, dari sisi lingkungan, berdasarkan laporan yang kami terima dari Menteri Lingkungan Hidup, terdapat pelanggaran. Kedua, setelah kami melakukan pengecekan langsung di lapangan, kami berpendapat bahwa kawasan-kawasan ini harus dilindungi, dengan tetap memperhatikan keberadaan biota laut serta kepentingan konservasi,” jelas Bahlil dalam konferensi pers yang diadakan di Kantor Presiden, Jakarta, dan disiarkan secara langsung pada Selasa, 10 Juni 2025.
Alasan ketiga adalah hasil keputusan rapat terbatas yang melibatkan sejumlah kementerian terkait, yang mempertimbangkan berbagai masukan dari pemerintah daerah, tokoh masyarakat Raja Ampat, serta hasil pemeriksaan lapangan secara menyeluruh.
Lalu, pelanggaran lingkungan seperti apa yang dimaksud?
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisal Nurofiq, memberikan penjelasan rinci dalam konferensi pers di Jakarta pada Minggu, 8 Juni 2025.
Hanif menjelaskan bahwa laporan tersebut didasarkan pada pengamatan yang dilakukan oleh tim dari Kementerian Lingkungan Hidup di lapangan pada tanggal 26 hingga 31 Mei 2025.
1. Tambang nikel PT Gag Nikel (PT GN)
Hanif menyatakan bahwa tambang nikel PT Gag Nikel terletak di Pulau Gag, yang memiliki luas 6.300 kilometer persegi.
Dengan luas tersebut, Pulau Gag termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil yang, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 1 Tahun 2014, dikecualikan dari kegiatan pertambangan.
Namun, menurut Hanif, PT GN adalah salah satu dari 13 perusahaan yang, sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2004, diizinkan untuk melanjutkan kontrak karya penambangan di kawasan hutan lindung hingga masa izinnya berakhir.
Hanif juga menegaskan bahwa tambang nikel di Pulau Gag berada di kawasan hutan lindung.
“Jadi, dahulu, berdasarkan UU 41 tahun 1999, penambangan terbuka tidak diperbolehkan di hutan lindung, tetapi ada pengecualian terkait 13 perusahaan ini melalui UU Nomor 19 tahun 2004 tentang penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2004,” ungkap Hanif.
“Jadi, pola penambangan terbuka tidak diperbolehkan di hutan lindung, kecuali untuk 13 perusahaan, termasuk PT GN, yang diperbolehkan melalui UU Nomor 19 tahun 2004,” lanjutnya.
Berdasarkan foto udara yang diambil oleh Kementerian LH, luas tambang nikel di Pulau Gag mencapai 187,87 hektare.
Hanif menjelaskan bahwa perusahaan tersebut telah melengkapi seluruh izin yang diperlukan untuk kegiatan pertambangan nikel, termasuk IUP, persetujuan lingkungan, dan izin pinjam pakai lahan karena berada di kawasan hutan lindung.
Selain itu, Hanif juga mengungkapkan bahwa tingkat pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas tambang nikel di Pulau Gag memang ada, tetapi relatif kecil.
“Tingkat pencemaran yang terlihat secara visual tidak terlalu serius. Artinya, jika ada indikasi ketidakpatuhan, sifatnya minor,” ungkapnya.
“Namun, ini baru berdasarkan pengamatan visual. Tentu saja, masih diperlukan kajian yang lebih mendalam karena sedimentasi dari kegiatan tambang sudah menutupi permukaan koral di perairan sekitar Pulau Gag,” lanjutnya.
2. Tambang nikel PT Anugrah Surya Pratama (ASP)
Tambang nikel yang dikelola oleh PT ASP terletak di Pulau Manuran, yang juga termasuk dalam kategori pulau kecil karena luas totalnya hanya 743 hektare.
Sementara itu, luas tambang PT ASP tercatat sebesar 109 hektare.
“Tentu kita bisa membayangkan bahwa jika eksploitasi dilakukan, pemulihannya tidak akan mudah karena tidak ada lagi bahan yang tersisa untuk pemulihan,” ujar Menteri Hanif.
Mengingat ukuran pulau yang kecil, Kementerian LH kemudian melakukan penelusuran lebih lanjut terhadap dokumen izin pemanfaatan lingkungan di Pulau Manuran.
Dari penelusuran tersebut, diketahui bahwa persetujuan lingkungan untuk PT ASP diterbitkan oleh Bupati Raja Ampat pada tahun 2006.
“Sampai saat ini, dokumen tersebut belum kami terima. Kami akan meminta agar dokumen tersebut diserahkan kepada kami untuk dilakukan peninjauan lebih lanjut,” ungkap Hanif.
Saat tim dari Kementerian LH melakukan pengawasan lapangan, mereka menemukan adanya settling pond atau kolam pengendapan air limbah yang jebol di kawasan tambang PT ASP.
Kondisi ini menyebabkan pencemaran lingkungan berupa air laut yang keruh di pantai setempat.
“Pada saat pengawasan dilakukan, memang terjadi jebolnya settling pond. Hal ini menyebabkan pencemaran lingkungan, dengan tingkat kekeruhan pantai yang cukup tinggi,” kata Hanif.
Dari hasil pengawasan juga diketahui bahwa manajemen lingkungan yang diterapkan oleh PT ASP kurang baik.
Oleh karena itu, Kementerian LH telah melakukan penyegelan di lokasi tambang PT ASP.
“Terkait dengan PT ASP, berdasarkan kejadian yang ditemukan saat pengawasan lapangan, terdapat indikasi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Kami akan melakukan penegakan hukum, baik pidana maupun perdata,” jelas Hanif.
“Kondisi lingkungan sudah kami dokumentasikan, sehingga pihak yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas kegiatannya, apalagi lokasi tersebut berada di zona yang sangat rentan. Oleh karena itu, kehati-hatian menjadi sangat penting,” tambahnya.
3. Tambang nikel PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)
Tambang nikel yang dikelola oleh PT KSM terletak di Pulau Kawai, yang memiliki luas total 4.561 kilometer persegi dan masih tergolong pulau kecil.
Luas tambang nikel di pulau tersebut adalah 89,29 hektare.
Sama seperti PT ASP, izin lingkungan untuk tambang nikel PT KSM juga diterbitkan oleh Bupati Raja Ampat.
“Hasil pengawasan lapangan menunjukkan bahwa PT KSM telah melakukan kegiatan pembukaan lahan pada tahun 2023 dan operasional penambangan biji nikel pada tahun 2024,” ujar Menteri Hanif.
“Kemudian, berdasarkan kajian yang kami lakukan, terdapat kegiatan pembukaan lahan yang melebihi lokasi pinjam pakai kawasan hutan, yang tentu saja melanggar persetujuan lingkungan,” katanya.
Hanif menyebutkan bahwa pembukaan lahan yang melebihi persetujuan tersebut seluas 5 hektare.
Akibatnya, akan ada penegakan hukum pidana lingkungan hidup yang akan dikenakan terhadap PT KSM.
4. PT Mulia Raymond Prakasa (MRP)
Lokasi tambang PT MRP berada di dua pulau, yaitu Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele, yang termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil.
Total lahan tambang yang dikelola oleh PT MRP seluas 21 hektare.
Berdasarkan tinjauan dan pengawasan lapangan, kegiatan tambang nikel di kedua pulau tersebut baru sebatas pemasangan bor pada titik-titik tertentu.
Namun, menurut Menteri Hanif, pemasangan bor tersebut telah dihentikan.
Alasannya, PT MRP belum mengantongi izin lengkap untuk kegiatan tambang di kedua pulau tersebut.
“Jadi, untuk kegiatan ini, PT MRP bahkan belum memiliki dokumen apa pun selain IUP. Baik izin pinjam pakai maupun persetujuan lingkungannya belum dimiliki,” ungkap Hanif.
“Namun, secara teknis, persetujuan lingkungannya sepertinya akan sulit kami berikan karena kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung tidak diperkenankan dengan pola terbuka, sementara penambangan nikel dilakukan dengan pola terbuka,” paparnya.
Karena belum ada aktivitas pertambangan apa pun, Kementerian LHK hanya menghentikan kegiatan PT MRP di Pulau Batang Pele maupun Pulau Manyaifun.
Setelah mengevaluasi hasil penelusuran tambang nikel yang dimiliki oleh keempat perusahaan tersebut, Kementerian LHK berencana untuk kembali mengunjungi lokasi dalam waktu dekat.
Menteri LH menyatakan keinginannya untuk melihat secara langsung seberapa parah tingkat kerawanan yang disebabkan oleh kegiatan tambang di pulau-pulau kecil di Raja Ampat tersebut.
“Kami sudah merencanakan perjalanan untuk melihat langsung kondisi lapangan, seperti yang dilakukan oleh Bapak Menteri ESDM. Kami juga ingin mengetahui seberapa besar tingkat kerawanan dan pencemaran yang telah terjadi, dan langkah-langkah selanjutnya akan kami diskusikan lebih detail,” tambah Menteri Hanif.