MasterV, Jakarta – Setelah isu mengenai tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, mencuat ke publik, berbagai pihak pun turut menyampaikan pandangannya.
Saat ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, telah mengambil langkah tegas dengan menghentikan sementara aktivitas penambangan nikel oleh PT Gag Nikel di Raja Ampat, efektif sejak 5 Juni 2025.
Pengamat Maritim, Marcellus Hakeng Jayawibawa, berpendapat bahwa keputusan ini menjadi sebuah momen penting dalam perubahan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
"Keputusan ini lebih dari sekadar tindakan administratif; ini adalah cerminan dari konflik mendalam antara dua kepentingan besar: pengembangan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan konservasi lingkungan hidup," ujar Hakeng dalam keterangan yang diterima pada hari Sabtu, 7 Juni 2025.
Hakeng berharap agar keputusan yang diambil tidak hanya bersifat penghentian sementara, melainkan penghentian secara total. Menurutnya, langkah ini mengindikasikan bahwa negara mulai menyadari betapa pentingnya perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi.
Selain itu, Rob Raffael Kardinal, Ketua Indonesia Carbon Credit and Biodiversity Alliance (ICBA), dengan tegas menolak rencana eksploitasi tambang nikel di kawasan konservasi Raja Ampat. Baginya, Raja Ampat adalah warisan dunia dan kebanggaan bagi seluruh masyarakat Papua.
"Kehadiran tambang nikel di wilayah ini merupakan ancaman langsung terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan identitas masyarakat adat setempat," jelas Rob.
Di sisi lain, Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, menyuarakan keluhannya mengenai kewenangan pemberian dan penghentian izin tambang nikel yang berada di tangan pemerintah pusat di Jakarta. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam melakukan intervensi terhadap aktivitas pertambangan yang diduga merusak dan mencemari hutan serta ekosistem yang ada.
"Sekitar 97 persen wilayah Raja Ampat merupakan kawasan konservasi. Akibatnya, ketika terjadi permasalahan pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan, kami практически tidak dapat berbuat banyak karena kewenangan kami sangat terbatas," ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Rosa Vivien Ratnawati, menyatakan bahwa pihaknya sedang menindaklanjuti terkait keberadaan tambang nikel di Raja Ampat.
"Saya hanya dapat memberikan sedikit tanggapan, karena Deputi Gakkum juga sudah mengambil langkah-langkah untuk menindaklanjuti hal ini," kata Vivien, seperti yang dikutip dari Antara.
Berikut ini adalah rangkuman respons dari berbagai pihak terkait isu tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang dihimpun oleh Tim News MasterV:
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, telah menghentikan sementara aktivitas penambangan nikel oleh PT Gag Nikel di Raja Ampat, terhitung sejak 5 Juni 2025.
Kebijakan ini menjadi penanda respons pemerintah terhadap meningkatnya tekanan dari masyarakat sipil, para aktivis lingkungan, dan akademisi yang merasa khawatir atas potensi kerusakan ekologis di salah satu kawasan yang paling ikonik dan kaya akan keanekaragaman hayati di dunia.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Maritim Marcellus Hakeng Jayawibawa menilai bahwa langkah ini merupakan titik balik penting dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
"Status Raja Ampat sebagai kawasan global geopark yang telah diakui oleh UNESCO seharusnya tidak dikorbankan demi kepentingan pertambangan skala besar," tegasnya.
Hakeng mengingatkan bahwa Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang yang ada di dunia. Kehilangan Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan bukan hanya menjadi kerugian bagi Papua Barat Daya, melainkan juga kerugian bagi dunia secara global.
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Namun, pada kenyataannya, pembukaan tambang di kawasan tersebut tetap saja dilakukan," kritiknya.
Hakeng menekankan bahwa hal ini merupakan persoalan yang sangat serius, terutama terkait dengan konsistensi Indonesia dalam hal penegakan hukum lingkungan. Terlebih lagi, berdasarkan laporan Liputanku yang dirilis baru-baru ini, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan.
"Tidak hanya itu, sedimentasi yang mengalir ke laut juga telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, Raja Ampat berpotensi kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena dianggap gagal menjaga warisan alam," wanti Hakeng.
Hakeng meyakini bahwa penghentian proyek tambang di Raja Ampat merupakan ujian terhadap komitmen pemerintah dalam membangun paradigma ekonomi yang tidak merusak tatanan ekologis. Oleh karena itu, prinsip free, prior and informed consent (FPIC) menjadi hal yang sangat mendasar.
"Jangan sampai masyarakat adat hanya dijadikan sebagai objek. Mereka harus menjadi subjek utama dalam pengambilan keputusan, karena merekalah yang paling merasakan dampaknya," Hakeng menandaskan.
Sebagai informasi tambahan, FPIC merupakan bagian dari hak asasi masyarakat adat yang telah diakui dalam berbagai konvensi internasional. Salah satu persoalan besar dalam kasus tambang di Raja Ampat adalah kurangnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Perlu diketahui bahwa transparansi dalam proses AMDAL dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) merupakan hal yang sangat penting. Tanpa adanya keterlibatan publik dan pengawasan independen, AMDAL hanya akan menjadi sekadar formalitas.
Kasus tambang nikel di Raja Ampat menjadi refleksi terhadap krisis tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Ketidaktegasan dalam menegakkan hukum lingkungan, tumpang tindih perizinan, dan lemahnya pengawasan merupakan akar dari permasalahan yang terus berulang. Pemerintah harus menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting dalam membangun kebijakan yang adil secara ekologis dan sosial.
Ketua Indonesia Carbon Credit and Biodiversity Alliance (ICBA), Rob Raffael Kardinal, secara tegas menolak rencana eksploitasi tambang nikel di kawasan konservasi Raja Ampat. Menurutnya, Raja Ampat adalah warisan dunia dan kebanggaan bagi Papua.
"Kehadiran tambang nikel di wilayah ini merupakan ancaman langsung terhadap kelestarian ekosistem laut dan identitas masyarakat adat," tegas Rob, seperti yang dikutip dari keterangan yang diterima pada hari Jumat, 6 Juni 2025.
Sebagai Putra Asli Papua Barat Daya, Rob memberikan dukungan penuh kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, untuk mengkaji ulang izin permohonan persetujuan lingkungan yang baru dan mengevaluasi persetujuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah diberikan kepada perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah tersebut.
"Kami menilai bahwa pencabutan izin ini merupakan langkah penting dalam menjaga komitmen Indonesia terhadap konservasi dan keberlanjutan," desak Ketua Bidang Pertambangan dan ESDM Dewan Pengurus Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) ini.
Rob mengingatkan bahwa Raja Ampat telah resmi ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark pada bulan Mei 2023. Penetapan ini semakin mengukuhkan posisi Raja Ampat sebagai kawasan geologis dan ekologis yang memiliki nilai ilmiah, pendidikan, dan keindahan alam yang luar biasa di tingkat dunia.
"Maka dari itu, status ini menegaskan betapa pentingnya perlindungan total terhadap wilayah tersebut dari ancaman industri ekstraktif yang merusak," tandasnya.
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, menyampaikan keluhannya terkait kewenangan pemberian dan penghentian izin tambang nikel yang berada di tangan pemerintah pusat di Jakarta.
Akibatnya, pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam memberikan intervensi terhadap aktivitas pertambangan yang diduga merusak dan mencemari hutan serta ekosistem yang ada.
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat berharap, dengan meninjau kembali pembatasan kewenangan pengelolaan hutan, pemerintah pusat dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk lebih terlibat dalam pengelolaan hutan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Direktur Pengembangan Usaha PT. Aneka Tambang (Antam), I Dewa Wirantaya, menyatakan bahwa PT Gag Nikel, sebagai anak perusahaan Antam, wajib menjalankan kaidah pertambangan yang baik (good mining practice).
Hal ini mencakup menaati seluruh prosedur teknis, lingkungan, dan peraturan-peraturan yang berlaku terkait pengelolaan area pertambangan di Pulau Gag.
"Seperti yang kita saksikan bersama, seluruh stakeholder dapat melihat bahwa kami melakukan ketaatan reklamasi, penahan terhadap air limpahan tambang, dan sebagainya. Tentunya, kami berharap kehadiran PT GAG Nikel di sini dapat memberikan nilai tambah, tidak hanya sebagai entitas bisnis, tetapi juga sebagai BUMN, kami juga berperan sebagai agent of development yang memberikan nilai tambah bagi stakeholder, terutama masyarakat yang ada di Pulau Gag ini," bebernya.
Hasil evaluasi di lapangan menunjukkan bahwa terdapat lima perusahaan yang menjalankan usaha pertambangan di Kabupaten Raja Ampat, yaitu PT GAG Nikel, PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond, dan PT Nurham.
Dari kelima perusahaan tersebut, PT GAG Nikel merupakan satu-satunya perusahaan yang saat ini aktif memproduksi nikel dan berstatus Kontrak Karya (KK). Perusahaan ini terdaftar di aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan Nomor Akte Perizinan 430.K/30/DJB/2017, serta memiliki wilayah izin seluas 13.136,00 hektar.
Di samping itu, PT GAG Nikel termasuk ke dalam 13 Perusahaan yang diperbolehkan untuk melanjutkan kontrak karya pertambangan di Kawasan Hutan hingga berakhirnya izin/perjanjian berdasarkan Keputusan Presiden 41/2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan.
Perlu diketahui, pada 5 Juni 2025, Menteri ESDM menghentikan sementara kegiatan operasi PT GAG Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat. Langkah ini diambil untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dampak pertambangan terhadap kawasan wisata di Raja Ampat.
Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Rosa Vivien Ratnawati, pada hari Rabu, 4 Juni 2025, menyatakan bahwa pihaknya sedang menindaklanjuti mengenai keberadaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dirinya juga menambahkan bahwa pihaknya sedang melakukan pengembangan dan langkah-langkah penegakan hukum.
Vivien merujuk kepada Deputi Bidang Penegakan Hukum (Gakkum) KLH/BPLH yang disebutnya sedang mendalami kabar mengenai keberadaan tambang nikel yang berlokasi dekat dengan Raja Ampat, salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia.
Keberadaan tambang nikel itu sendiri dikhawatirkan oleh sejumlah pihak dapat berdampak negatif terhadap ekosistem alam di sekitarnya, mengingat kelestarian Raja Ampat menjadi salah satu daya tarik utama bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, untuk mengunjunginya.
Terkait dengan dokumen lingkungan yang wajib dimiliki oleh perusahaan pertambangan nikel ketika hendak beroperasi, Vivien menyatakan bahwa pihaknya perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut.