Namun, di balik kerapihan dan kebersihan negara Jepang yang begitu memukau, terdapat sebuah paradoks yang seringkali mengagetkan para turis mancanegara: mengapa begitu sulit menemukan wadah sampah di ruang publik?
Pertanyaan ini seringkali diajukan oleh para mahasiswa Profesor Chris McMorran, seorang pengajar Studi Jepang di National University of Singapore, setiap kali beliau mengajak mereka berwisata ke Jepang.
Dalam sebuah survei yang dilaksanakan oleh Japan National Tourism Organization (JNTO), minimnya tempat sampah bahkan menjadi keluhan utama para wisatawan, melampaui kendala bahasa maupun padatnya destinasi wisata.
Budaya Makan di Negeri Sakura
Menurut McMorran, permasalahan ini memiliki kaitan erat dengan budaya masyarakat Jepang. Di Negeri Sakura, mengonsumsi makanan sembari berjalan dianggap sebagai tindakan yang kurang sopan.
Oleh karena itu, meskipun warga lokal juga membeli hidangan siap saji di toko swalayan (kombini) atau mesin penjual otomatis, umumnya mereka membawanya ke rumah atau menikmatinya di tempat, kemudian membuang sampahnya di rumah atau di kantor.
A post shared by Kompas Travel (@kompas.travel)
Banyak warga Jepang juga senantiasa membawa tas kecil guna menyimpan limbah sementara, hingga menemukan lokasi yang tepat untuk membuangnya.
Kebiasaan ini menjadikan keberadaan tempat sampah publik tidak begitu diperlukan. Akan tetapi, hal ini menjadi sebuah tantangan bagi para pelancong, terutama mereka yang sudah terbiasa makan sambil berjalan atau belum memahami adat istiadat setempat.
Problematika Kebersihan Akibat Pariwisata Massal
Meningkatnya jumlah wisatawan asing telah memicu persoalan baru seputar kebersihan. Kota Nara, contohnya, terkenal dengan rusa liarnya yang jinak dan menjadi magnet utama bagi para turis.
Namun pada tahun 2019, sembilan ekor rusa dilaporkan mati usai menelan sampah plastik yang dibuang secara sembarangan oleh para pengunjung.
Faktanya, tempat sampah sudah dihilangkan dari taman-taman Nara sejak tahun 1985 demi melindungi rusa dari bahaya menelan isinya.
Akan tetapi, seiring bertambahnya jumlah wisatawan yang kurang familiar dengan budaya lokal, pemerintah kota akhirnya memasang kembali sejumlah tempat sampah, lengkap dengan panel surya dan pesan “Save the deer” dalam Bahasa Inggris.
Di distrik Shibuya, Tokyo, perayaan Halloween yang meriah namun menimbulkan tumpukan sampah telah mendorong pemerintah daerah untuk melarang konsumsi minuman beralkohol di jalan sebagai salah satu langkah menjaga kebersihan.
Peristiwa yang Memicu Langkanya Tempat Sampah di Jepang
Selain alasan budaya, terdapat pula latar belakang keamanan yang lebih serius. Pada tanggal 20 Maret 1995, serangan gas sarin oleh kelompok Aum Shinrikyo di sistem kereta bawah tanah Tokyo merenggut nyawa 14 orang dan menyebabkan lebih dari 5.000 orang terluka.
Salah satu tindakan yang diambil pasca-serangan tersebut adalah penyingkiran banyak tempat sampah dari stasiun-stasiun kereta guna mencegah penyembunyian material berbahaya.
Dok. Wikimedia Commons/MaedaAkihiko Kereta Tokaido Shinkansen yang melintasi Prefektur Shizuoka berlatar panorama Gunung Fuji, Jepang.
Tempat sampah yang masih ada pun umumnya menggunakan kantong plastik transparan agar isinya mudah terpantau oleh petugas keamanan.
Praktik ini tidak hanya diterapkan di Jepang. Inggris Raya juga meniadakan banyak tempat sampah publik selama masa konflik dengan IRA pada dekade 1970-an.
Solusi dan Perilaku Masyarakat
Paul Christie, CEO Walk Japan, menyatakan bahwa sikap saling menghormati dan rasa tanggung jawab sosial memainkan peranan besar dalam menjaga kebersihan di Jepang.
“Masyarakat Jepang menjunjung tinggi kebersihan dan bekerja sama untuk mewujudkannya,” tuturnya.
Sebagai bagian dari kampanye lingkungan, Jepang juga menerapkan sistem daur ulang yang sangat kompleks.
Beberapa wilayah memiliki hingga 20 kategori limbah yang berbeda, mengharuskan warganya untuk memilah sampah dengan cermat.
Bagi para turis, membawa tas atau menggunakan furoshiki (semacam kain pembungkus serbaguna tradisional Jepang) bisa menjadi solusi praktis dan berbudaya untuk menyimpan limbah sementara selama perjalanan.