Jepang Terancam Punah: Akar Krisis Populasi Terungkap!

Admin

02/06/2025

4
Min Read

Krisis populasi di Jepang mencapai titik yang mengkhawatirkan. Selama empat belas tahun berturut-turut, atau tepatnya 14 tahun, negara yang dikenal dengan sebutan Negeri Sakura ini terus mengalami penurunan jumlah penduduk. Jika kondisi ini tidak segera diatasi dengan serius, bukan tidak mungkin Jepang akan menghadapi kepunahan di masa depan. Lalu, apa sebenarnya akar permasalahan yang mendasari fenomena ini?

"Saya merasa lega pemerintah Jepang menyadari betapa pentingnya masalah ini. Apabila tindakan yang radikal tidak segera diambil, Jepang (dan banyak negara lainnya) akan menghilang!" tulis Elon Musk beberapa waktu lalu, menyoroti krisis kelahiran yang terjadi di Jepang.

Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri Jepang, hingga Oktober 2024, tercatat ada 120,3 juta penduduk Jepang, mengalami penurunan sebesar 898 ribu jiwa dibandingkan tahun 2023. Jika ditambahkan dengan jumlah warga negara asing, total penduduk Jepang mencapai 123,8 juta jiwa, menyusut sebanyak 550.000 jiwa dari tahun sebelumnya.

Ini merupakan penurunan jumlah penduduk yang terjadi selama 14 tahun berturut-turut, dan menjadi penurunan terparah sejak pemerintah mulai mencatat data populasi pada tahun 1950-an. Sementara itu, proporsi penduduk usia kerja, yaitu antara 15 dan 64 tahun, mengalami penurunan sebanyak 224.000 jiwa menjadi 73,73 juta jiwa atau 59,6%, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat yang mencapai 62,3%.

Mantan Menteri Kesehatan, Keizo Takemi, menyatakan bahwa prospek demografi Jepang berada dalam kondisi yang sangat kritis dan memperingatkan bahwa negara tersebut hanya memiliki waktu hingga tahun 2030-an untuk melakukan perubahan signifikan.

Jepang tidaklah sendirian dalam menghadapi masalah ini. Negara-negara tetangga seperti China, Korea Selatan, dan Taiwan juga berjuang dengan tantangan serupa. Pemerintah di negara-negara tersebut berupaya keras untuk mendorong angka kelahiran di tengah budaya kerja yang menuntut, biaya hidup yang semakin meningkat, serta perubahan pandangan terhadap pernikahan dan keluarga di kalangan generasi muda.

Ryuichi Kaneko, seorang pakar demografi sekaligus profesor di Universitas Meiji, mengungkapkan bahwa akar penyebab krisis populasi di Jepang dapat ditelusuri kembali ke era pasca perang. Prioritas yang berlebihan pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan sektor-sektor lain terabaikan, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan urusan rumah tangga.

"Saya meyakini bahwa salah satu alasan mengapa penurunan angka kelahiran di Jepang menjadi sangat parah adalah karena, pada periode pascaperang, negara ini membangun masyarakat yang memberikan prioritas ekstrem pada aktivitas ekonomi," ungkapnya seperti dikutip detikINET dari Newsweek.

"Sementara pekerjaan yang berkaitan dengan perawatan yang mendukung kehidupan masyarakat, seperti pekerjaan rumah tangga, pengasuhan anak, dan perawatan lansia, diperlakukan sebagai masalah pribadi, dipisahkan dari ranah publik, dan direndahkan nilainya. Dalam kerangka pembagian kerja berdasarkan gender ini, beban perawatan secara tidak proporsional juga dibebankan kepada perempuan," jelasnya lebih lanjut.

Keinginan masyarakat Jepang untuk membentuk keluarga pun mengalami penurunan yang signifikan. Berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2022, di antara orang dewasa yang belum pernah menikah, semakin sedikit yang menyatakan niat untuk menikah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Banyak dari mereka yang merasa yakin tidak akan merasa kesepian meskipun terus hidup sendiri. Bahkan, sekitar sepertiga dari responden menyatakan tidak menginginkan hubungan apapun.

Biaya hidup yang tinggi di Jepang, kondisi ekonomi dan upah yang stagnan, ruang hidup yang semakin terbatas, serta budaya kerja yang menuntut menjadi beberapa alasan mengapa semakin sedikit orang yang berpacaran atau menikah. Namun, bagi wanita, faktor ekonomi bukanlah satu-satunya pertimbangan.

Jepang masih merupakan masyarakat yang sangat patriarki, di mana wanita yang sudah menikah seringkali diharapkan untuk mengambil peran sebagai pengasuh, meskipun pemerintah terus berupaya untuk lebih melibatkan para suami. Karena berbagai alasan inilah, banyak orang yang menunda pernikahan. Akibatnya, mereka mencapai usia 40 tahun dan terhanyut dalam kehidupan lajang. Terlebih lagi, banyak wanita yang kini mandiri secara ekonomi.

Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang telah menggandakan upaya untuk mengatasi krisis demografi ini dengan menyetujui paket senilai USD 5 miliar pada akhir tahun 2023. Paket ini bertujuan untuk memperluas tunjangan anak, meningkatkan layanan perawatan anak, dan meningkatkan dukungan pendidikan.

Negara ini juga melonggarkan aturan imigrasi untuk membantu mengisi kekurangan tenaga kerja di sektor-sektor seperti perawatan lansia dan manufaktur. Reformasi ini bertujuan untuk melipatgandakan jumlah tenaga kerja asing pada tahun 2040, sehingga lebih banyak pekerja dapat tinggal lebih lama dan membawa keluarga mereka.

Video: Food Court Baru di Plaza Senayan Bertema Jepang

Video: Food Court Baru di Plaza Senayan Bertema Jepang