Jeritan Nelayan Marunda yang Kesulitan Dapat BBM Bersubsidi

Admin

23/06/2025

3
Min Read

JAKARTA, MasterV – Sejumlah nelayan di Marunda, Jakarta Utara mengaku kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) solar bersubsidi.

"Iya (sulit), ada sekitar lima bulanan mah," ujar salah satu nelayan bernama Roni (30) saat diwawancarai MasterV di lokasi, Selasa (10/6/2025).

Sebab, saat ini pembelian BBM bersubsidi di SPU dibatasi. Sementara dulu, kata Roni, para nelayan bebas membeli solar di SPBU dengan menggunakan drigen.

Pembatasan pembelian BBM bersubsidi itu dilakukan agar tidak disalahgunakan.

Beli solar pakai surat rekomendasi

Hal itu pula yang membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membatasi para nelayan membeli solar.

Roni mengatakan, kebijakan pertama, nelayan tidak lagi diperkenankan membeli solar menggunakan drigen dan harus pakai kaleng.

Namun, tak lama pemerintah merubah peraturan untuk mendapatkan BBM bersubsidi para nelayan harus memiliki surat rekomendasi.

Surat rekomendasi tersebut diterbitkan oleh Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (Sudin KPKP).

Dalam surat rekomendasi itu, tertera barcode yang harus discan ketika nelayan ingin membeli solar di SPBU.

Di surat rekomendasi itu juga tertera jatah solar para nelayan per bulannya. Jatah solar tersebut diberikan sesuai dengan besaran kapasitas mesin perahu yang dimiliki.

Untuk perahu kecil, rata-rata mendapatkan jatah solar 900 liter per bulan.

"Surat rekomendasi itu dari Sudin KPKP Jakarta Utara. Nelayan beli BBM begitu kewalahan," kata Roni.

Barcode kadaluwarsa

Para nelayan sebenarnya tidak keberatan jika membeli solar harus menggunakan surat rekomendasi.

Namun, yang kerap jadi permasalahan adalah barcode dalam surat rekomedasi itu sering kadaluwarsa, sementara jatah solar nelayan masih banyak.

Pasalnya, masa berlaku barcode itu hanya tiga bulan.

"Seharusnya, walaupun barcodenya habis harus ada solusi lain, jangan terlaku kaku banget gitu," ucap Suganda.

Oleh sebab itu, Suganda menyayangkan apabila kouta solarnya masih banyak, tetapi tak bisa dibeli hanya karena masa berlaku barcodenya habis.

Sulit perpanjang surat rekomendasi

Di tengah barcode yang hanya berlaku tiga bulan, para nelayan mengeluhkan sulitnya memperpanjang surat rekomendasi.

"Nah, kadang celah antara habis dan waktu perpanjang (barcode) kadang kami enggak tahu butuh berapa lama," ucap Suganda.

Biasanya jika surat rekomendasinya habis, nelayan akan memperpanjangnya melalui ketua nelayan.

Proses perpanjangan surat rekomendasi itu bisa memakan waktu dua minggu.

Selama dua minggu itu pula, nelayan tak bisa mendapatkan solar bersubsidi apabila surat rekomendasinya belum selesai diperpanjang.

Beli eceran

Jika tak mendapatkan BBM bersubsidi, biasanya para nelayan membeli solar eceran. Namun, yang kerap menjadi permasalahan adalah membeli solar di eceran harganya lebih mahal.

"Kaya sekarang ini, kita mau beli solar, kita harus beli diceran. Beli di eceran harganya lumayan mahal bisa kena Rp 15.000," ujar Roni.

Karena harga solar ecer yang mahal, sebagian nelayan terpaksa berhenti melaut untuk sementara waktu.

Bantahan Sudin KPKP

Di tengah banyaknya keluhan nelayan, Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (Sudin KPKP) Jakarta Utara, membantah mempersulit proses perpanjang surat rekomendasi untuk nelayan mendapatkan BBM bersubsidi.

"Sepertinya kami enggak pernah mempersulit. Yang penting syaratnya komplit," ujar Kasudin KPKP Jakarta Utara, Unang Rustanto saat dikonfirmasi MasterV, Selasa.

Unang mengatakan, syarat untuk memperpanjang surat rekomendasi pembelian BBM bersubsidi, yakni nelayan harus memiliki KTP Jakarta.

Kemudian, perahu yang didaftarkan untuk mendapat BBM bersubsidi juga harus milik nelayan itu sendiri.

Jika syarat tersebut sudah lengkap, maka perpanjang surat rekomendasi BBM bersubsidi bisa diproses dengan cepat.

"Contoh yang di Kamal Muara, (surat rekomendasinya) dibawa ke Sudin. Asal syaratnya komplit, langsung kita input di sistem. Enggak sampai satu hari keluar, karena kita enggak perlu verifikasi," kata Unang.