Kakorlantas Polri, Irjen Agus Suryonugroho, kembali mengingatkan akan potensi sanksi pidana bagi kendaraan yang melanggar aturan dimensi atau pengangkutan. Beliau menegaskan bahwa kendaraan yang tidak sesuai standar produksi dan ketentuan yang berlaku, termasuk kendaraan *over dimensi*, dapat dikenakan sanksi tegas. Praktik *over dimensi* dianggap sebagai bentuk kejahatan lalu lintas yang serius.
"Terkait dengan penegakan hukum, *over dimensi* merupakan kejahatan lalu lintas yang diatur dalam pasal 277. Proses penegakan hukumnya akan melalui jalur pidana biasa," jelas Irjen Agus kepada awak media di NTMC Korlantas, Jakarta Selatan, pada hari Rabu, 4 Juni 2025.
Landasan hukum untuk sanksi ini tertuang dalam Pasal 277 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal ini mengatur sanksi pidana bagi siapa saja yang mengimpor, membuat, merakit, atau memodifikasi kendaraan bermotor yang mengakibatkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri tanpa memenuhi kewajiban uji tipe. Ini adalah pelanggaran serius yang mengancam keselamatan.
Dalam pasal tersebut, pelanggar terancam pidana ringan. Ancaman hukuman maksimal adalah penjara selama 1 tahun atau denda maksimal sebesar Rp 24 juta. Pertanyaannya, apakah sanksi ini cukup memberikan efek jera?
"Memang benar, pasal 277 hanya menyebutkan denda sebesar 24 juta dan kurungan selama 1 tahun dalam UU Lalin. Namun, ini adalah langkah terakhir yang akan diambil oleh penegak hukum," tambahnya.
Situasinya berbeda dengan pelanggaran *overload*. Pelanggaran ini termasuk dalam kategori sanksi administratif. Pelanggaran *overload* diatur dalam Pasal 316 ayat 1 *juncto* Pasal 307 dengan sanksi pidana penjara paling lama 2 bulan dan/atau denda maksimal sebesar Rp 500 ribu. Ini menunjukkan bahwa setiap jenis pelanggaran memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.
Namun demikian, Irjen Agus menekankan bahwa tindakan penegakan hukum akan menjadi upaya terakhir yang ditempuh jika terjadi pelanggaran. Tujuan utamanya adalah mewujudkan Indonesia bebas dari praktik *over dimension* dan *overload*. Inilah visi yang ingin dicapai.
"Jadi, proses hukum bisa diterapkan. Tetapi, langkah ini akan menjadi yang terakhir apabila skenario penegakan hukum yang telah kita sepakati diawali dengan pendekatan edukatif, sosialisasi, dan imbauan-imbauan. Semua ini demi keselamatan jiwa, baik pengguna jalan maupun pengemudi, termasuk pengguna jalan lainnya," terangnya.
Oleh karena itu, dalam operasi yang sedang berlangsung, pihak kepolisian tidak hanya fokus pada pengawasan kendaraan di jalan. Mereka juga secara proaktif memberikan sosialisasi kepada pihak perusahaan hingga penyedia jasa karoseri. Ini adalah upaya preventif yang sangat penting.
"Nanti bisa pengusaha, korporasinya, atau karoserinya (yang melanggar). Semuanya tergantung pada proses *mens rea* (niat) yang mereka lakukan. Langkah-langkah penyelidikan dan penyidikan tentunya akan disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi sejak awal," pungkasnya. Apakah langkah ini akan efektif menekan angka pelanggaran?