Ekspor Ikan Natuna ke Hongkong Macet, Ini Kata KKP

Admin

07/06/2025

3
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan penjelasan mengenai penyebab terhentinya kegiatan ekspor ikan Kerapu dan Napoleon dari Natuna dan Anambas, yang merupakan bagian dari Kepulauan Riau, menuju Hongkong.

Semuel Sandi Rundupadang, Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam, Kepulauan Riau, mengungkapkan bahwa penghentian ekspor ini disebabkan oleh pengetatan pengawasan yang diterapkan oleh Pemerintah Beijing terhadap barang-barang yang masuk melalui jalur laut.

Menurut keterangannya, tidak adanya lagi kapal-kapal Hongkong yang mengambil ikan ekspor di wilayah Natuna dan Anambas telah berlangsung sejak bulan Maret hingga saat ini.

“Informasi yang kami terima menunjukkan bahwa salah satu faktor utama adalah kebijakan Pemerintah Beijing yang memperketat pengawasan terhadap barang-barang yang masuk ke Hongkong melalui laut, terutama sejak terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok,” jelas Semuel, seperti yang dikutip Liputanku dari Antara, Sabtu (31/5/2025).

Ia menambahkan bahwa ketegangan antara Pemerintah Beijing dan Hongkong semakin meningkat sejak dimulainya perang dagang. Pemerintah Tiongkok menduga adanya praktik penyelundupan barang melalui jalur laut menuju Hongkong, sehingga pengawasan diperketat secara signifikan.

Kondisi ini, lanjut Semuel, mengakibatkan kapal-kapal dari Hongkong tidak lagi mengunjungi pelabuhan muat di Natuna dan Anambas untuk mengangkut ikan-ikan yang akan diekspor.

Situasi serupa sebelumnya juga dialami oleh para pembudidaya ikan ekspor di wilayah Bitung, Makassar, Tarakan, dan Manado, sebelum akhirnya berdampak pada Kepulauan Riau.

Namun, ia menyatakan bahwa beberapa pelaku usaha telah beralih menggunakan jasa pengiriman melalui jalur udara untuk mengirimkan ikan kerapu ke Hongkong.

“Pengiriman melalui udara tidak mengalami kendala. Salah satu contohnya adalah pengiriman dari Makassar yang masih berjalan lancar,” ungkapnya.

Hanya saja, ia mengakui bahwa biaya pengiriman melalui udara jauh lebih mahal dibandingkan dengan pengiriman melalui laut. Sebagai contoh, biaya pengiriman dari Makassar ke Hongkong mencapai Rp 35.000 per kilogram. Untuk satu kargo seberat 25 koli, hanya berisi ikan seberat 8 Kg, sedangkan sisanya adalah air.

Ia menjelaskan bahwa jenis ikan yang dikirim melalui jalur udara biasanya adalah ikan dengan kualitas super, seperti Kerapu Sunu, sehingga mahalnya biaya pengiriman masih dapat diimbangi oleh harga jual ikan yang tinggi.

Berbeda halnya dengan ikan kerapu yang umumnya dibudidayakan oleh nelayan di Natuna dan Anambas, seperti jenis kerapu macan dan kerapu kertang, yang harganya tidak sebanding dengan biaya pengiriman jika dilakukan melalui udara.

“Biaya kargo pengiriman melalui pesawat sangat mahal. Dikhawatirkan jika tetap dipaksakan, biaya pengiriman tidak akan tertutup, dan pelaku usaha akan mengalami kerugian,” papar Semuel.

Semuel menegaskan bahwa kondisi ini tidak hanya merugikan nelayan pembudidaya atau pelaku usaha, tetapi juga pemerintah yang kehilangan potensi pendapatan dari kegiatan ekspor ikan hidup melalui jalur laut.

Solusi untuk mengatasi permasalahan ini berada pada tingkat pemerintah pusat, khususnya antara KKP dan Pemerintah Beijing.

“Kami telah melaporkan situasi ini ke pemerintah pusat. Penyelesaian masalah ini menjadi wewenang pemerintah pusat karena melibatkan dua negara,” tegas Semuel.

Sementara itu, sejumlah nelayan pembudidaya ikan kerapu dan napoleon di Natuna dan Anambas merasa resah akibat tidak beroperasinya kapal-kapal dari Hongkong yang biasanya mengambil hasil budidaya mereka.