Zero ODOL Gagal? MTI: Perlu Roadmap & Keadilan Logistik

Admin

24/06/2025

3
Min Read

On This Post

Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, berpendapat bahwa kebijakan zero ODOL (Over Dimension Over Load) berpotensi kurang efektif jika tidak didukung oleh roadmap yang jelas. Menurutnya, implementasi tanpa arahan yang konkret hanya akan menjadi sekadar slogan dan memperpanjang ketidakadilan dalam sistem distribusi nasional.

"Tanpa roadmap yang terdefinisi dengan baik dan fungsi jembatan timbang yang optimal, kebijakan ini hanya akan menjadi wacana belaka. Bahkan lebih buruk lagi, akan memperburuk ketidakadilan dalam rantai distribusi nasional," ungkap Djoko di Jakarta.

Beliau menyoroti kurang optimalnya fungsi jembatan timbang, atau yang secara resmi dikenal sebagai Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB), sebagai instrumen pengendali bagi truk yang melanggar batas muatan dan dimensi. Menurut pandangannya, UPPKB saat ini seolah "macan ompong" yang kehilangan kekuatannya.

"Instrumen pengendalian truk dengan dimensi dan muatan berlebih yang selama ini diandalkan, yaitu jembatan timbang atau UPPKB, hampir tidak berfungsi dengan efektif," tegasnya.

Berdasarkan data yang tercatat pada tahun 2021, hanya sekitar 88 dari total 134 jembatan timbang yang benar-benar beroperasi. Banyak di antaranya yang terbengkalai atau tidak dilengkapi dengan teknologi yang memadai, seperti sistem Weight-in-Motion, bahkan sering kali menjadi lokasi rawan praktik pungutan liar. Selain itu, Djoko juga menyinggung bahwa uji KIR cenderung menjadi sumber pendapatan daerah tanpa adanya pengawasan yang terintegrasi. Diperkirakan sekitar 80 persen truk lolos tanpa melalui proses pengujian yang sesuai standar.

"Banyak yang melebihi kapasitas, fasilitasnya terbatas, dan rentan terhadap pungli," imbuh Djoko. Di tengah lemahnya sistem pengawasan, Djoko menekankan bahwa para pengemudi truk adalah pihak yang paling merasakan dampaknya. Mereka terpaksa bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai, tanpa standar upah yang jelas, tidak memiliki fasilitas istirahat yang layak, dan ironisnya, sering kali menjadi pihak yang disalahkan ketika terjadi kecelakaan.

"Para pengemudi hidup di bawah tekanan yang berat, bahkan praktik pungli dapat menghabiskan hingga 35 persen dari pendapatan mereka," jelasnya.

Menyadari kompleksitas permasalahan ini, MTI menawarkan tiga langkah strategis yang dianggap sebagai prasyarat mutlak sebelum kebijakan zero ODOL diterapkan secara efektif. Pertama, perlunya penyusunan masterplan untuk simpul dan lintasan angkutan barang yang terintegrasi, bukan hanya pembangunan infrastruktur logistik yang bersifat sporadis.

Kedua, pemerintah perlu merumuskan roadmap tata kelola distribusi barang yang melibatkan pemilik barang dan pelaku industri dalam sistem pengendalian ODOL. Tanpa adanya regulasi yang mewajibkan tanggung jawab mereka, pengemudi akan terus menjadi pihak yang dirugikan.

Ketiga, Djoko mendorong pembentukan kebijakan logistik nasional yang berbasis pada supply chain. Menurutnya, logistik adalah sistem yang melibatkan berbagai sektor dan wilayah, sehingga tidak dapat diselesaikan secara sektoral. Dibutuhkan pendekatan terpadu yang menggabungkan sektor transportasi, industri, perdagangan, dan ketenagakerjaan.

Beliau menegaskan bahwa pemberlakuan zero ODOL seharusnya tidak hanya berfokus pada penertiban ukuran dan muatan truk, tetapi juga menjadi momentum untuk membangun sistem logistik yang lebih adil dan modern.

"Ini bukan sekadar tentang muatan truk. Ini adalah tentang keadilan dalam distribusi dan perlindungan terhadap para pelaku logistik, terutama para pengemudi," tutup Djoko.